KESADARAN KOLEKTIF

  • Whatsapp
Dr H Kasman Jaya Saad, M.Si (ist)

Di hari kedua di tahun 2022, sehabis sholat subuh, beberapa jamaah masjid dekat rumah, sengaja saya undang untuk minum kopi dan makan ubi goreng di teras rumah, sambil menikmati horizon pagi.  Tak ada acara, hanya untuk ajang silaturahmi sesama jamaah mesjid saja. Pagi itu, kami bercerita tentang banyak hal, dan juga membahas tentang banyak hal. Termasuk pasukan garuda yang tampil Sabtu malam, bagi kami cukup membanggakan.  Skuad Shin Tae-yong layak pulang dengan kepala tegak. Bahwa kita kalah agregat 2-6 dari Thailand adalah fakta yang juga harus diterima. Dalam olah raga memang kita diajarkan tentang sportivitas, mengakui kekalahan. Karena sportivitas berkaitan dengan soal playing (permainan), aturan dan hasil akhir, yakni menang atau kalah. Permainan atau pertandingan memang terjadi kompetisi dan harus ada hasil akhirnya, menang atau kalah, namun prosesnya harus sportif, bukan semata soal kepatuan karena adanya aturan dalam pertandingan, namun lebih dari itu perilaku sportif  para pemain menjadi penting dalam suatu pertandingan. Itulah perlu dipahami bersama, dan itu saya maksud dengan kesadaran kolektif.

Kesadaran kolektif kedua yang kami peroleh dari diskusikan pagi itu, bahwa setiap kita punya cerita masing-masing. Allah Swt, Tuhan yang maha kuasa memainkan peran kita masing-masing dengan rapi. Setiap plot cerita-Nya sesungguhnya telah disusun dengan indahnya. Setiap  kita adalah pahlawan dalam cerita kehidupan kita masing-masing. Tidak perlu terburu-buru “hidup mapan” dengan cara yang tidak benar. Dan kita tidak perlu iri apalagi dengki dengan kemajuan orang lain. Kurang syukur menutupi nikmat-nikmat Tuhan yang berlimpah yang lewat begitu saja. Jalani takdir-Nya dengan penuh rasa syukur dan ikhlas terhadap-Nya. Sertakan Tuhan dalam setiap langkah. Kita semua pasti punya masalah. Syukuri, itu berarti kita masih hidup. Jika kita percaya dengan Tuhan, Allah Swt, maka buatlah hidup kita sederhana, karena yakinlah Tuhan tidak akan pernah meninggalkan kita. Kita saja yang “sering” meninggalkan Tuhan. Maka, ketika hidup kita mulai banyak problem, mulai ribet, ceritalah kepada Tuhan, dan buatlah hidup kita simple,tidak neko-neko, namun pasang tetap target. Agar hidup kita menjadi lebih tertata, lebih wise dan lebih berkah.  Jangan kepo dengan urusan orang,  namun tak boleh boleh jumawa dengan kemajuan yang diperoleh. Dibutuhkan kesadaran kolektif untuk memaknainya.

Pada pagi itu juga, kami larut mendiskusikan  soal keyakinan dan peran akal. Kita memang sering membenturkan akal dan keyakinan,  padahal itu bukanlah dua hal yang perlu dibenturkan. Kita tidak boleh menganaktirikan salah satunya. Karena keduanya dibutuhkan untuk memahami realitas, dan yang berbeda dari keduanya, ada pada posisi dan jangkauannya. Kita seharusnya bisa memberi porsi yang seimbang untuk itu, karena dasar dari penggunaan keduanya adalah kebenaran yang universal dan bukan bersifat parsial. Kebenaran itu sifatnya dinamis tidak statis dan merupakan suatu korespondensi atau kesesuaian antara apa yang seharusnya (ide) dan apa yang terjadi (realitas). Maka, keyakinan yang benar adalah keyakinan yang ide dan realitasnya memiliki kesesuaian. Keyakinan dapat hadir jika kita mengetahui sesuatu yang kita yakini tersebut. Dan ini kesadaran kolektif ketiga yang hadir dalam diskusi pagi itu.

Soal lain, tema diskusi pagi itu memang campur aduk, tentang bagaimana mempersiapkan kematian. Ya, tentang sesuatu yang pasti  akan dijalani sebagai makhluk yang hidup. Kematian adalah alur atau rangkaian peristiwa setiap yang bernyawa, karena selain kehidupan di dunia yang sering melalaikan, akan ada hidup kembali untuk dibangkitkan di akhirat kelak yang abadi. Dan segala sikap dan perilaku kita akan dipertanggung jawabkan dihadapan sang khalik,pemilik keabadian. Kematian kerap terjadi disekeliling kita, namun kita jarang  menjadikan ibrah dan perenungan secara mendalam. Kematian kerap hanya dijadikan momok, mimpi buruk yang ditakuti. Bahkan layak dijauhkan dari pikiran. Padahal kematian suatu kenyataan yang patut dihadapi dalam suasana bathin yang matang. Hidup kita bisa berakhir kapan pun. Tidak ada yang tahu. Ada hidup dan pasti ada kematian. Dan itu harus diyakini agar kita menyiapkan kehidupan ini lebih tertata, lebih selo dan lebih bermakna. Dan ini kesadaran kolektif yang keempat. Pesannya jelas bahwa kematian penting  diyakini dan dimaknai secara mendalam, agar jiwa menjadi damai, tak panjang angan-angan dan grasah-grusuh. “Maka, perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan itu, agar dunia tak memperdayaimu” begitu tutup salah satu kawan jamaah mesjid. “Hari ini,  mungkin kita masih hidup, tapi besok belum tentu. Maka jalani hidupmu dengan dengan benar dan bermanfaat bagi sesama” tutup jamaah yang lain.  Diskusi pagi yang mencerahkan dan saya tergerak menuliskannya sebab ada banyak makna pagi itu saya dapatkan, semoga demikian anda yang membaca tulisan ini.  Tabe.(Dr.H Kasman Jaya Saad, M.Si, Dosen Universitas Alkhairaat Palu)

Pos terkait