Bisnis Sawit Dalam Pusaran Konflik Agraria di Sulteng

  • Whatsapp
Suasana ballroom Palu Golden Hotel Jalan Raden Saleh Kota Palu, Jumat (20/10/2023) siang, tampak hampir penuh.(syahrul/mediasulawesi.id)

RUANGAN yang disulap layaknya panggung siaran program televisi Indonesia Lawyers Club (ILC) itu dihadiri puluhan wartawan se-Sulawesi Tengah selama tiga jam. Situasi berbeda tercipta dalam suasana itu. Sebab, pekerja pers yang lazimnya berada di balik peristiwa justru kini berkumpul bersama mengikuti Workshop Wartawan mengangkat isu “Konflik Agraria dan Implikasi Hukum di Indonesia” yang digelar Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) Sulawesi bersama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sulteng di Palu Golden Hotel, Jumat (20/10/2023) siang.

Antusias para pencari berita itu jelas terlihat. Sejuknya ruangan ber AC plus sajian kopi panas bersama kudapan menambah gairah diskusi kala itu. Sekira pukul 14.20, seorang pria berbusana batik menaiki mimbar berdiri di hadapan 50 delegasi perusahaan pers se- Sulawesi Tengah. Sosok itu ialah Doni Yoga Perdana, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) Sulawesi. “Wartawan memberikan pesan yang sangat besar bagi persepsi masyarakat luas. Kekuatan para wartawan membawa pesan rakyat didengar para pemangku kebijakan, bisa merubah bahkan melahirkan kebijakan baru,” ungkap Doni.

Menurutnya, informasi yang diberikan oleh wartawan tentang konstalasi industri kelapa sawit menjadi edukasi bagi masyarakat. Hadirnya perusahaan kelapa sawit bisa memberikan manfaat bagi semua pihak, bagi semua pemangku kepentingan dan masyarakat luas. “Dukungan teman-teman media, menjadi partner diskusi dalam memberikan informasi positif tentang sawit sangat berharga bagi kami,” ujar Doni melanjutkan.

Pernyataan Doni di atas tak begitu saja dapat diaminkan. Terlebih dengan maraknya konflik agraria belakangan ini. Namun, penyajian berita positif tentang kelapa sawit dapat menjadi penyeimbang informasi bagi khalayak.

Wartawan Perlu Miliki Pedoman dan Wawasan

Setelah hampir setengah jam, posisi Doni digantikan Tri Putra Toana. Pria yang menjabat Ketua PWI Sulteng itu, menyebut pelaksanaan workshop menjadi tanggungjawab PWI dalam memberikan pengembangan wawasan terhadap persoalan kelapa sawit. “Kepada yang hadir, saya memohon dan meminta hari ini kita sama-sama serius untuk mengikuti masukan-masukan dari GAPKI dan narasumber, sehingga ketika menulis sudah punya pedoman dan wawasan,” ujarnya sembari membuka workshop tersebut.

Tri Putra menyentil kelapa sawit di Indonesia yang kini tengah mengalami diskriminasi bangsa Uni Eropa dengan Undang-undang Anti Deportasi. Ia menyebut persoalan itu sebenarnya adalah perang dagang persaingan minyak nabati produk Eropa yang mengakibatkan minyak sawit Indonesia sulit masuk ke Eropa.

Tri menggambarkan, dampak dari itu bisa menjadi bom waktu terhadap pertumbuhan ekonomi bagi hampir dua puluh juta penduduk Indonesia yang bergantung kepada kelapa sawit.

Peliknya Konflik Agraria di Sulteng

Diskusi mulai seru saat dua narasumber menawarkan gagasannya di hadapan para pejuang berita itu. Hotman Sitorus andil dalam kesempatan itu sebagai salah satu narasumber. Dalam pandangan keilmuannya sebagai dosen di Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Jakarta, Hotman menyebut konflik agraria kerap dipicu pola tumpang tindih dari segi kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.  

Pakar Kajian Hukum Kebijakan Tata Ruang Kelapa Sawit Indonesia itu menyebut konflik berkutat pada izin lokasi (ilok), izin kehutanan, izin penunjukan kawasan hutan, dan Hak Guna Usaha (HGU). Ia menyoroti Pemerintah Daerah (Pemda) sebagai pemangku kebijakan untuk dapat lebih memperhatikan persoalan pengeluaran izin. “Ada HGU membangun kebun kok bisa-bisanya masuk dalam kawasan hutan,” tandas Hotman, sembari menceritakan pengalaman yang kerap menjadi penyebab konflik.

Sisi afirmatif tampak muncul saat narasumber kedua, yakni Muchtar, Ketua GAPKI Cabang Sulawesi Tengah, memaparkan gagasannya. Menurutnya, kehadiran perusahaan sawit justru memberikan dampak positif utamanya bagi masyarakat di Sulawesi Tengah. Berdasarkan penyebaran daerah tertinggal, dari 183 kabupaten yang tertinggal sedikitnya 70 persen berada di Indonesia Timur salah satunya Sulawesi Tengah.

Sulawesi Tengah sendiri memiliki luas lahan total 145.873 ha dengan menghasilkan sebanyak 371.717 CPO (minyak kepala sawit). Data GAPKI mengungkapkan kebun rakyat masih lebih luas ketimbang perusahan-perusahaan sawit yang ada di Sulawesi Tengah, dimana masih seluas 73.593 ha dari korporasi yakni 72.280 ha. Porsi kebun rakyat sekitar 50,45 persen.

Meski demikian, tak bisa begitu saja melupakan peliknya beragam persoalan konflik agraria khususnya di Sulawesi Tengah sendiri. Tanggapan itu dilontarkan Sekretaris Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu, Kartini Nainggolan. Ia mencontohkan konflik agraria di PT. ANA Morowali Utara sampai kini belum ada penyelesaian yang manjur.

Bahkan kabarnya perusahaan yang telah beroperasi lebih 17 tahun tersebut tidak memiliki HGU. Sementara lebih 7000 hektar lahan masyarakat yang bersertifikat di klaim milik PT. ANA.”Benar bahwa kehadiran kelapa sawit memberikan dampak besar terutama ekonomi, lantas bagaimana dengan warga yang berkaitan dengan haknya secara langsung,” beber wartawan senior di Harian Mercusuar itu.(syahrul)

Pos terkait