Kehadiran kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah menciptakan perdebatan panjang antara optimisme dan kekhawatiran. Di satu sisi, AI menawarkan berbagai peluang untuk mendorong inovasi, efisiensi, dan kemajuan di berbagai bidang. Namun, di sisi lain, ia juga memunculkan tantangan dan kekhawatiran terkait masa depan manusia.
AI dikembangkan dengan meniru cara kerja otak manusia melalui pendekatan yang disebut neural networks atau jaringan saraf tiruan. Pendekatan ini mencoba mereplikasi pola pikir manusia dalam memproses informasi, mengenali pola, dan mengambil keputusan. Sama seperti otak manusia yang terdiri dari miliaran neuron yang saling terhubung, jaringan saraf tiruan dirancang dengan lapisan-lapisan neuron buatan yang bekerja secara paralel untuk menganalisis dan memproses data. Proses ini melibatkan pembelajaran dari pengalaman atau data, yang dikenal sebagai machine learning, sehingga AI dapat mengasah kemampuannya seiring waktu, mirip dengan bagaimana manusia belajar dari lingkungan dan pengalaman hidup. Dengan inspirasi dari otak manusia, pengembang AI berusaha menciptakan teknologi yang tidak hanya efisien tetapi juga mampu berpikir adaptif dan kreatif.
Kemampuan AI dalam beradaptasi dan mampu menyelesaikan beragam persoalan, dimanfaatkan oleh manusia dalam berbagai aspek kehidupan seperti bidang ekonomi, sosial, politik dan termasuk pendidikan. Penggunaan ChatGPT misalnya, tidak hanya digunakan sebagai tools untuk mencari infomasi akan tetapi lebih lanjut sebagai pendamping dalam proses belajar-mengajar. Lantas dengan kemampuan tersebut, apakah kita sebagai pengguna akan bergantung sepenuhnya atau ada hal-hal tertentu yang perlu diperhatikan?
Kekhawatiran terkait perkembangan AI yang diprediksi dapat mendominasi kemampuan manusia, menimbulkan banyak pandangan terhadap keberadaan AI itu sendiri. Seperti Menurut Elon Musk (CEO Tesla dan SpaceX) sering memperingatkan tentang potensi bahaya AI yang tidak terkontrol. Ia menyebut AI sebagai “ancaman eksistensial terbesar bagi umat manusia.” Menurutnya, pengembangan AI superintelligent yang melebihi kemampuan manusia dapat menyebabkan hilangnya kendali. Musk menyerukan regulasi ketat untuk memastikan AI berkembang dengan aman dan etis. Stephen Hawking (Fisikawan Teoretis) juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap AI yang canggih dapat menjadi “akhir dari umat manusia” jika manusia gagal mengelolanya dengan bijak. Menurutnya, pengembangan AI harus disertai dengan pemahaman mendalam tentang dampaknya terhadap masyarakat, termasuk ancaman terhadap pekerjaan dan kontrol manusia.
Kekhawatiran terkait keberadaan AI yang dianggap sebagai ancaman bagi peradaban manusia bukanlah tanpa alasan. AI yang digadang-gadang memiliki kemampuan superintelligent memang dapat memicu ketakutan, terutama jika manusia sepenuhnya bergantung pada teknologi ini dan berhenti mengembangkan inovasi serta kreativitas. Ketergantungan yang berlebihan pada AI dapat menyebabkan kemunduran peradaban manusia, bukan karena keberadaan AI itu sendiri, tetapi akibat manusia yang kehilangan daya cipta dan kemampuan berpikir kritis. Padahal, pada hakikatnya, AI hanyalah sebuah replika yang dirancang untuk meniru cara kerja manusia dan membantu meringankan berbagai tugas, bukan untuk menggantikan esensi manusia sebagai makhluk yang inovatif dan kreatif. (Ulfatun Nadifa, S.Pd.,M.Kom dan Mohamad Riyandi Badu, S.Pd.,M.Pd, Dosen Fakultas Teknik Universitas Negeri Gorontalo)