Perilaku baik para calon pemimpin saat ini menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah kerinduan banyak masyarakat, namun apakah ini merupakan wujud teladan jati diri mereka atau sekedar pencitraan. Boleh salah satunya atau boleh jadi keduanya, yang pasti sekarang masyarakat menikmati kebaikan mereka itu. Dan kawan saya di kompleks, tempat saya bermukim selama ini tak ambil pusing “Bila memungkinkan tahapan pengenalan atau sosialisasi calon seperti ini diperpanjang, biar kami menikmati kehadiran pemimpin itu, dua tahun begitu, sisanya tiga tahun untuk menjabat”ucapnya dengan senyum. Dan tulisan ini hadir, mencoba mengulas ungkapan satir kawan tersebut.
Satir dalam kamus bahasa Indonesia dimaknai sebagai bahasa untuk menyatakan sindiran ke seseorang atau terhadap sesuatu. Dalam kamus bahasa gaul satir dimaknai sebagai sindiran halus yang sesungguhnya memberi makna lelucon yang tak bermaksud melukai seseorang.
Kawan saya tentu saja mengerti, bahwa tahapan sosialisasi dan masa kampanye itu tidak lama, kalau dihitung kurang lebih hanya dua bulan saja, sejak ditetapkan. Hanya waktu untuk sosialisasi juga sering dimanfaatkan banyak calon untuk melakukan kegiatan “yang kadang” sulit dibedakan atau beda tipis dengan kampanye.
Pilkada sebagai hajad demokrasi dan wujud sirkulasi kepemimpinan di daerah memang juga diharapkan dilakukan dengan transparan dan berintegritas. Pilkada harus kembali diikhtiarkan untuk mendapatkan pemimpin daerah yang berintegritas dan kapabel. Itu sebab pilkada seharusnya mampu menawarkan solusi yang menyejahterakan. Sehingga tahapan sosialisasi dan kampanye bukan hanya sekedar peningkatan elektabilitas seorang calon an sich, namun terpenting bagaimana tanggung jawab akan janji yang telah disampaikan itu dilaksanakan bila terpilih. Namun bila menyimak statament kawan saya di atas, ada keraguan akan segala perilaku baik para calon itu. Pilkada tak diyakini akan membawah perubahan. Perilaku baik para calon hanya polesan, sekedar pencitraan. Perubahan perilaku setelah perpilih akan berubah drastis, tidak sedikit yang menjadi arogan. Janji tinggal janji, semua tak akan menjadi realitas. Pilkada hanya sekedar prosesi ketatanegaraan yang menafikan kepentingan masyarakat. Bahwa ada yang menikmati, itu karena mereka telah berjuang menjadi tim relawan atau tim sukses.
Mungkin itu sebab kawan saya menginginkan masa sosialisasi atau perekenalan itu diperpanjang, karena pemimpin sungguh hadir saat itu. Berbagai hiburan rakyat ditampilkan. Kunjungan ke daerah bahkan ketemu langsung dengan rakyat begitu sering dilakukan. Tidak sedikit calon rela dipeluk dan dicium oleh masyarakatnya. Begitu berbaur. Begitu peduli. Begitu melayani dan begitu mengerti denyut nadi yang terjadi dalam masyarakatnya. Sepertinya para calon tak ada capeknya, sabang hari kehadiran di setiap daerah begitu nyata. Segala keluhan ditampung dan ditindak lanjuti. Curhat rakyat itu didengarnya dengan baik, dicatat dan begitu dimengerti. Bahkan untuk menyakinkan, mereka para calon tidak sedikit ikut nginap di rumah masyarakat. Pesona kebaikannya begitu nyata, senyum dan tawanya berderai bersama masyarakat.
Kesulitan yang dialami masyarakat tak sekedar didekapnya, namun ditindaklanjuti. Tak ingin rakyat tidak makan, tidak sekolah, tidak sehat dan segalanya. Hidupnya hanya untuk memikirkan rakyatnya. Pokoknya kesusahan masyarakatnya adalah kesusahannya. Kebahagiaan masyarakatnya adalah kebahagiannya. Tak ada kalimat putus asa dalam mengurus masyarakatnya. Setiap ucapannya adalah solusi bagi masyarakat. Tak ada ucapan kasar yang ada hanya kesantunan dan welas asih yang dalam. Kenikmatan yang dialaminya ketika bersua dengan masyarakatnya. Kenikmatannya hanya itu. Bahkan banyak calon tidak segan mendermakan harta bendanya untuk kepentingan masyarakatnya. Dan tidak sedikit calon begitu terlihat tegas dan adil dalam membelah kepentingan masyarakatnya. Tak ada kalimat takut sedikitpun bila itu untuk kebaikan masyarakatnya. Perilaku amanah juga begitu terlihat, ketika menyampaikan orasinya. Ada keinginan nyata ingin selalu memberi yang terbaik dan aksinya terasa begitu nyata. Rindu akan kesejahteraan masyarakatnya selalu dilontarkan dengan lantang, menggema ke penjuru daerah.
Begitulah sosok pemimpin yang dirindukan, namun sayang, hanya terlihat saat tahapan sosialisasi dan kampanye. Bahwa para calon itu melakukannya sebatas pencitraan, bagi kawan saya, mungkin itu tak penting. Kehadiran sosok pemimpin yang dirindukan, yang melayani, yang amanah, yang peduli telah hadir dan dinikmatinya. Meski hanya waktu singkat. Dan kawan saya sadar, setelah itu tak akan ada lagi perilaku baik itu, yang tersisa hanya pemenuhan kepentingan diri dan kelompoknya, dan kembali menunggu cerita mimpinya itu diperhelatan lima tahun berikutnya. Ah kawan, ungkapan satir itu penuh makna, namun terkadang lucu. (Dr.Kasman Jaya Saad, M.Si, Dosen Universitas Alkhairaat Palu)