Tolak Bala Lewat Ritual Mandiu Bulava Mpongeo

  • Whatsapp
Sabtu (30/7/2022) pagi, tradisi Mandiu Bulava Mpongeo kembali digelar melalui upacara adat yang diikuti ratusan masyarakat Desa Towale.(ist)

MASYARAKAT Desa Towale, Kecamatan Banawa Tengah, Kabupaten Donggala ternyata memiliki tradisi yang masih bertahan hingga kini. Tradisi yang unik dan sarat makna simbolik. Yah, masyarakat menyebutnya Mandiu Bulava Mpongeo ( Memandikan Emas Mengeong). Konon menurut cerita rakyat setempat, emas berbentuk patung kecil mirip sepasang pengantin ini asal muasalnya dari telur dan bisa mengeluarkan suara mengeong layaknya suara kucing. 

Sabtu (30/7/2022) pagi, tradisi Mandiu Bulava Mpongeo kembali digelar melalui upacara adat yang diikuti ratusan masyarakat Desa Towale. Tradisi ini dilaksanakan setiap tahun dan bertepatan dengan tahun baru Islam ( 1 Muharram 1444 H).  Tidak hanya pejabat pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh adat dan masyarakat Desa Towale yang hadir. Bahkan banyak warga dari luar daerah tersebut yang hadir mengikuti proses tradisi yang berlangsung di rumah salah satu pewaris Bulava Mpongeo

Prosesi ritual ini diawali dengan mengambil  air dari empat sumber  mata air yang keluar dari sela-sela daun di dusun  di Dusun Lino, Desa Tolongano, Kecamatan Banawa Selatan, air toporandu di Desa Tovale,air uventumbuh di Desa Towale dan mata air kempat yakni pertemuan air laut dengan air tawar.Air tersebut  kemudian dicampurkan dengan beberapa macam  dedaunan seperti daun pandan, bunga-bunga  yang disatukan  dalam ember besar  penuh air. Dalam ember tersebut, terdapat dedaunan khusus.

Seorang tetua adat berpakaian serba kuning yang memimpin ritual tersebut membacakan doa dan mantra. Ia kemudian memindahkan air dalam ember tadi ke sebuah baskom besar dan memandikan Bulava Mpongeo tadi yang telah disiapkan di sebuah wadah beralaskan kain berwarna kuning. Wadah yang dinaungi payung berwarna kuning itu dikelilingi sesajen berupa telur, beras pulut tiga warna yakni kuning, hitam dan putih serta beberapa lembar daun. Dua perempuan paruh baya berpakaian serba kuning duduk mendampingi tetua adat tadi. Diatasnya terdapat kain yang dibentangkan berisi dedaunan. Seorang perempuan bertugas menyiram dedaunan yang airnya jatuh ke baskom,tepat di depan tetua adat tersebut.

Proses pemandian atau pensucian Bulava Mpongeo yang dipercaya sebagai benda keramat tersebut berlangsung sekitar satu jam. Air yang mengeluarkan aroma wangi tersebut kemudian dibagi-bagikan kepada puluhan warga yang ikut dalam prosesi ritual itu. Ada yang diisi dalam botol kemasan air mineral ada pula dalam jergen. Sebagian warga menggunakan air itu dengan mencuci mukanya. Sebagian pula warga membawa pulang ke rumahnya. Mereka percaya dengan mencuci muka atau mandi dengan menggunakan air bekas siraman Bulava Mpongeo maka akan terbantu untuk terhindar dari mara bahaya.

Bagi masyarakat Desa Towale, Mandiu Bulava Mpongeo tidak hanya sekadar tradisi biasa yang sekaligus menjadi ajang silaturahmi. Tradisi tersebut dinilai punya pengaruh terhadap terciptanya kedamaian dan ketentraman di desa tersebut. Mereka juga meyakini dengan menggelar ritual tersebut maka masyarakat akan terhindar dari bencana atau bala seperti wabah penyakit, kelaparan maupun kekeringan atau kemarau panjang.

Beberapa tokoh masyarakat dan tokoh adat menilai jika ritual tahunan tersebut sesungguhnya merupakan bentuk penghargaan terhadap lelulur yang telah berlangsung secara turun temurun. Adapun kekuatan magis dari benda yang dikeramatkan tersebut (Bulava Mpongeo,red), tergantung keyakinan masing-masing individu. Benda tersebut tetaplah benda mati dan hanya Tuhan Yang Maha Kuasa. Asal mula benda itu sendiri memang masih menyimpan misteri. Entah merupakan asli warisan peninggalan kerajaan Donggala atau akulturasi budaya .

Terlepas dari kepercayaan masyarakat akan kekuatan dari Bulava Mpongeo, yang jelasnya tradisi yang diperkirakan berlangsung lebih satu abad ini merupakan bagian khasanah budaya Suku Kaili di Desa Towale yang patut dilestarikan. Tradisi ini selain menjadi asset budaya, juga berpotensi sebagai obyek wisata.(Syamsuddin, S.S, M.Si, Dosen Fakultas Sastra Universitas Alkhairaat Palu) 

Pos terkait