Jum’at kemarin (5/11/21) mesjid dekat rumah, kembali mendaulat saya membawakan kultum bertajuk Ngopi Subuh (Ngobrol perkara iman). Dan kepada pembaca ingin saya membaginya apa yang saya sampaikan dikultum subuh itu.
Saya memulai dengan mengutip apa yang disampaikan Abul A’la Al Maududi tentang kesengsaraan yang dialami umat manusia, menurut beliau karena manusia begitu memuliakan hukum yang dibuatnya. Manusia membuat hukum mengganti hukum yang telah ditetapkan-Nya. Mampukah kita mengatur seluruh manusia yang mempunyai watak dan tabiat yang berbeda, dan membuat hukum yang berfungsi untuk mengurus segala urusannya?. Lebih lanjut Abu A’la mempertanyakan mampukah hukum yang kita bangga-banggakan itu menciptakan ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan?.
Pertanyaan Abu A’la itulah yang memantik diskusi subuh itu, dan mempertanyakan hukum yang dibuat manusia yang menyisahkan banyak problem hidup manusia, karena hukum Tuhan dikesampingkan. Adakah kita menyadari betapa banyak perilaku kejahatan dan kemaksiatan tetap berlangsung di depan banyak hukum yang kita produksi. Dan tentu saja ketenangan dan kebahagian makin jauh. Tak ada jalan damai dan ketentraman selain kita kembali kejalan-Nya, mematuhi dan melaksanakan segala aturan hukum yang sudah ditetapkan-Nya.
Saat ini kita bukan hanya menghadapi era disrupsi Industri 4.0, namun juga era disrupsi pandemi covid-19 dan disrupsi perubahan iklim secara bersamaan. Dan disrupsi itu pula menyebabkan kehidupan banyak negara makin merangas dan tak menentu. Sebagai contoh, ketidakmampuan banyak negara mengatasi perubahan iklim. Pertemuan dunia pun dilakukan untuk meredam disrupsi perubahan iklim tersebut. 179 negara berkumpul kembali di Glasgow, Skotlandia(1-12/11/2021) melaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-26 tentang Perubahan Iklim atau COP26. Mereka berkumpul untuk menentukan langkah dan kebijakan dalam mengatasi perubahan iklim dalam upaya mempertahankan target yang ditetapkan dalam Perjanjian Iklim Paris yakni menjaga pemanasan global pada 1,5 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri. Namun pertemuan tersebut “hanya sekedar janji pimpinan berbagai negara, termasuk Indonesia”. Tak juga ada tindakan realnya. Sekedar mementaskan pencitraan. Suhu dunia masih tetap memanas menuju tingkat yang berbahaya. Berbagai kebijakan dikeluarkan negara-negara yang mengikuti COP26 tidak mencerminkan kesadaran ke arah perbaikan bumi yang lebih baik. Menteri negara KLH dalam laman medsosnya menyebut, pembangunan besar-besaran di era Presiden Jokowi, tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi. Nah.
Begitu banyak kesepakatan yang dibuat, begitu banyak pertemuan tingkat tinggi dilakukan, begitu banyak undang-undang dan aturan yang disepakati, namun tak pernah mengurangi ketidak adilan dan kemelaratan. Negara-negara maju tetap mendominisai, tetap mengkooptasi. Coba bersama kita renungkan, adakah aturan atau kesepakatan itu merugikan negara-negara besar tersebut?. Kepentingan mereka tetap selalu menjadi pertimbangan, dan negara kecil atau negara belahan selatan-selatan harus dipaksa berbakti dan berkorban untuk kepentingan mereka, dengan cara apapun. Begitulah hukum bumi, bila tak menyahuti hukum langit. Selalu terjadi ketimpangan, ketidakadilan dan kesengsaraan bagi banyak ummat manusia di muka bumi ini. Dalam konstelasi hukum bumi seperti itu masihkah kita mengharap keadilan muncul di muka bumi ini?
Dalam kehidupan kebangsaan kita, sesungguhnya tak jauh beda, bagaimana hukum dibuat untuk diperjual belikan. Keadilan masih saja termangu, terjal dan berliku. Penuh onak dan duri bagi rakyat kebanyakan, hanya sekedar untuk menikmati keadilan. Keadilan seakan menjadi barang langka. Kian sulit ditemukan dan dipahami rakyat kebanyakan. Hukum lumpuh tak kuasa meredam penyalahgunaan kekuasaan. Hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Begitulah keterbatasan hukum bumi yang dibuat manusia, beruang kali mengadakan perbaikan, merevisi dan bahkan mengganti dengan hukum atau aturan yang baru, namun manusia selalu gagal melepaskan diri dari problem hidup yang dialami. Kemaksiatan, keresahan dan kerusakan secepat itu pula terjadi. Abul A’la Al Maududi menentang kita menyadari kelemahan dan keterbatasan ini. Karena menurut beliau hanya hukum Allah Swt yang mampu mewujudkan aspirasi umat manusia tentang keadilan itu. “Tak ada jalan lain selain patuh dan tunduk atas segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Mematuhi dan melaksanakan hukum yang sudah ditetapkan-Nya. Allah Swt mengetahui apa yang tersembunyi dan nampak. Tak ada jalan lain selain jalan-Nya. Hukum yang dihadirkan oleh-Nya tidak membeda-bedakan sesama manusia dan hanya menempatkan keimanan dan ketaqwaan sebagai kelas tertinggi dalam kehidupan, dan kelak Dia akan membeberkan kepada kita di dalam sidang pengadilan-Nya semua tindak-tanduk yang kita lakukan selama hidup di dunia” . Semoga direnungkan. Tabe.(Dr.H Kasman Jaya Saad, M.Si, Dosen Universitas Alkhairaat Palu)