Bunda pertiwi, dihari jadimu yang ke 76, tak seperti biasanya anak negerimu begitu euforia merayakannya, kini terasa sunyi, yang hadir pembatasan di sana sini, akibat pandemi corona dengan berbagi varian menderamu tak berkesudahan. Saat ini, tubuhmu lunglai tak berdaya. Suara pekik kemerdekaan yang selalu engkau lantunkan mulai terasa sayup. Cita-citamu, awal menapak kehidupan kemerdekaan menuju perikehidupan kebangsaan dan kewargaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, masih bersimbah piluh, kuyup dan juga belum menjadi nyata. Bahkan tubuhmu terasa makin sesak, menyaksikan polarisasi anak negerimu makin tajam, tak juga bersatu, menyaksikan kemiskinan dan ketidakadilan masih menyeruak, menamparmu tak bergeming, pengorbananmu terasa sia-sia.
Bunda pertiwi engkau telah begitu peduli dan itu sebab engkau bentuk pemerintahan untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsamu. Namun wujud keinginanmu tercegat perilaku koruptif dan pragmatisme para elit yang memegang kekuasaan di negerimu. Para elit negeri sudah tidak segan saling menghianati, bahkan mereka “tega”mengkhianati pengorbananmu bunda. Sumpah jabatan sebagai wujud pertanggung jawaban atas namamu dan Tuhan Yang Maha Esa, disalahgunakan, hanya sekedar formalitas, karena ketamakan dan hasrat meraih kehormatan rendah begitu merajalela.
Dan kuatnya penetrasi neoliberalisme dalam mekanisme perebutan kekuasaan (pemilu dan pemilukada), memaksa peraih kekuasaan itu hanya milik pemodal. Terkadang yang terpilih tanpa kapasitas, apalagi integritas. Itu sebab urusan negerimu bunda, banyak terabaikan, dibarter dengan kepentingan kelompok dan kepentingan para pemodal. Kekuasaan datang-hilang, silih berganti membuai mimpi, tetapi nasib anakmu bernama rakyat itu tetap sama, kekal menderita, kelam dan tak menikmati manisnya makna kemerdekaan yang engkau raih dengan pengorbanan jiwa dan air mata.
Dan cita-cita keadilan sosial yang menjadi tujuan negeri yang engkau hadirkan, tak juga dirasakan, karena melebarnya kesenjangan sosial. Sekelompok anak negeri begitu muda menikmati berbagai fasilitas dan sekelompok anak negeri lainnya begitu sulit mendapat akses dasar sekalipun. Dan ditengah pademi corona sekarang ini, begitu terasa.
Semangat untuk mewujudkan keadilan masih termangu, masih terjal dan berliku. Penuh onak dan duri bagi mereka bernama rakyat itu untuk ‘sekedar’menikmati keadilan. Hukum lumpuh tak kuasa meredam penyalahgunaan kekuasaan. Hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Begitulah keadilan di negerimu bunda. Keadilan menjadi barang mahal, tak terjangkau oleh kami anakmu yang fakir ini dan tak mengerti bagaimana keadilan itu diperoleh.
Pada basis materi, kekayaanmu begitu melimpah bunda. Dikenal seantero jagat raya akan kemolekan sumber alammu. Indah permai dan menggoda, laksana samrud di khatulistiwa. Namun kemolekan sumber daya alammu tak membuat banyak anak negeri menikmati. Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam perut bumimu sebagai pokok kemakmuran rakyatmu, yang seharusnya dikuasai untuk dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran bagi anakmu bernama rakyat itu, menjelma dan dikuasai hanya segelintir orang-seorang bagi sebesar-besar kemakmuran sekelompok kecil orang dan bahkan bukan untuk anak negerimu. Dan penguasaan sumber daya alam negerimu makin begitu merajalela oleh bukan anak negerimu, – pihak asing, yang tak peduli akan keselamatan ekologis dan penderitaan yang akan di alami anak negerimu kelak, akibat ulah mereka. Karena yang hadir dalam benak para pemodal itu adalah bagaimana mengeksploitasi, merampas kekayaan yang ada di perut bumimu semata, dengan keuntungan sebesar-besarnya mengabaikan keberlanjutan ekologis.
Bunda pertiwi, seharusnya diusiamu yang ke 76 pekik kemerdekaanmu makin lantang, makin keras, menghujat bumi dan menggonjang gunung kekuasaan yang dipenuhi kemunafikan dan ketidakadilan. Pekik kemerdekaan tak boleh sayup bunda, meski tubuhmu kini didera pandemi corona. Perwujudan anak negeri yang adil dan makmur tak boleh dikalahkan oleh keserakaan kapitalisme dan para elit negeri yang belum juga mampu memaknai dasar negerimu dengan baik. Keadilan sosial dengan pemerataan, kesetaraan, sama rata, sama rasa, harus diwujudkan di taman nirwana negerimu. Itu sebab dibutuhkan komitmen kuat dan persatuan anak negeri untuk mewujudkan kejayaan bunda pertiwi yang engkau patrikan sejak awal kemerdekaan, yakni negeri yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Pekik merdeka bunda. Merdeka dari ketidakadilan dan merdeka dari corona. Merdeka, sekali lagi merdeka bunda pertiwi.(Dr. H Kasman Jaya Saad, M.Si, Dosen Universitas Alkhairaat Palu)