PALU – Berbicara tentang Hutan Adat, Koalisi Advokasi untuk Rekognisi Hak Masyarakat Hukum Adat (KARAMHA) sepakat untuk mendorong hutan adat bisa masuk dicantumkan dalam Peraturan Daerah Tata Ruang Provinsi Sulawesi Tengah. Untuk diketahui, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012 yang merupakan hasil judicial review atas UU. No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa hutan adat itu sendiri merupakan hutan yang berada di wilayah masyarakat hukum adat.
Pasalnya, pihak KARAMHA telah sedianya berupaya mendorong pencantuman hutan adat dimaksud sejak Januari 2018 lalu ketika Pemerintah Provinsi akan melakukan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sulteng. Namun sayangnya, inisiasi tersebut terhambat sebab tidak tersedianya regulasi teknis yang mengatur tentang hutan adat baik dari segi nomenklatur, simbol, dan notifikasinya, maupun posisinya dalam pola ruang.
Konsolidasi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) untuk mendorong hutan adat tersebut diintegrasikan dalam dokumen RTRWP mulai intensif dilakukan pada awal tahun 2023. Serangkaian aktivitas advokasi dimulai dari pengumpulan sekaligus analisis berbagai dokumen yang relevan seperti naskah akademik, batang tubuh Ranperda dan lampirannya. Bedah Ranperda dilakukan medio Maret dengan melibatkan Bidang Penataan Ruang, Dinas BMPR Provinsi Sulteng. Dimana selama bulan April, Tim Karamha juga menyusun Kertas Kebijakan Urgensi Pencantuman Hutan Adat dalam RTRWP Sulteng. Kertas Kebijakan ini kemudian diserahkan ke Pimpinan DPRD Sulteng dan Pansus RTRWP pada audiensi 22 Mei 2023 lalu.
Lebih lanjut, puncak perjuangan advokasi hutan adat ini kemudian mendapat kepastiannya ketika Rapat Paripurna DPRD Sulteng menetapkan Perda tentang RTRWP Sulawesi Tengah tahun 2023-2042, yang telah mengakomodir keberadaan Hutan Adat sebagai Kawasan Strategis Provinsi (KSP) untuk kepentingan sosial-budaya.
Untuk diketahui, jika merujuk pasal 57 Perda RTRWP Sulteng tersebut, terdapat enam hutan adat yang telah dicantumkan dalam Kawasan Strategis Provinsi (KSP) dengan total luasan 17.501 hektar. Lokasi hutan adat ini tersebar pada dua kabupaten, yakni satu lokasi di Kabupaten Morowali Utara (Wana Posangke) dan lima lokasi di Kabupaten Sigi (Marena, Masewo, Moa, Lindu dan Toro).
Dinamisator Karamha Sulteng, Amran Tambaru, mengatakan, pencantuman hutan adat sebagai KSP dalam RTRWP ini bermakna sangat mendasar bahwa DPRD bersama Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah mengakui dan menghormati keberadaan Masyarakat Adat berserta hak-hak tradisionalnya (hutan adat). “Pandangan dan sikap dari pengambil kebijakan ini selaras dengan amanah Konstitusi RI, dan patut diapresiasi oleh kalangan masyarakat sipil dan tentunya masyarakat adat di Sulawesi Tengah,” sebutnya Jumat (16/6/2023) pagi.
Makna lainnya, sebut Amran yang juga sebagai Direktur Eksekutif Yayasan Merah Putih (YMP) Sulteng tersebut, mengatakan Provinsi Sulteng menjadi provinsi pertama di Indonesia yang memposisikan hutan adat secara strategis dalam Kebijakan Penataan Ruangnya, dan dilegalisasi dalam kerangka hukum peraturan daerah level provinsi. “Artinya ke depan, kolaborasi antara pemerintah daerah dan kalangan masyarakat sipil akan menjadi rujukan bagi provinsi lainnya untuk belajar dan tukar pengalaman terkait proses advokasi hutan adat kedalam RTRWP,” jelasnya.
Senada dengan itu, Akademisi Universitas Tadulako (Untad) Palu, Dr. MHR Tampubolon, SH.,MH, menjelaskan, meski demikian tentu diperlukan jawaban untuk bisa memastikan bahwa Perda dimaksud dapat diimplementasikan secara operasional. Sehingga diperlukan regulasi turunan apakah Peraturan Gubernur atau kebijakan lainnya. Selain itu, memastikan pula substansi dari Hutan Adat sebagai KSP terinternalisasi dan dimasukan pada dokumen RTRW Kabupaten/Kota dan atau dokumen Rencana Detail Tata Ruang. Dan juga memastikan bahwa masyarakat adat di Sulteng dapat diakui keberadaanya melalui kerangka hukum daerah dalam bentuk PERDA Provinsi atau Kabupaten/Kota.(SCW)