MISKONSEPSI DAN KEPEDULIAN BAYAR PAJAK

  • Whatsapp
Muhammad Rakha Ishlah Adimad, Account Representative KPP Pratama Palu (ist)

Beberapa waktu lalu media mainstream ramai memberitakan terkait aturan terbaru yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Pasal yang disoroti yaitu Pasal 17 ayat 1 huruf a ,tentang perubahan lapisan tarif bawah. Respon Masyarakat terlihat beragam terkait hal ini, mungkin salah satu penyebabnya adalah pengambilan kesimpulan yang utuh atas informasi yang belum sempurna.

“Karyawan Gaji Minimal 5 juta kini kena PPh 5 Persen”, begitu kira-kira bunyi headline pada salah satu media massa. Banyak masyarakat merespon negatif terkait hal ini, beberapa mengatakan hal tersebut memberatkan karena belum juga memenuhi kebutuhan hidup sehari hari sudah dikenai pajak. Hal ini jelas merupakan sebuah miskonsepsi atau kesalahpahaman. Dalam perhitungan pajak yang selama ini digunakan, dikenal istilah penghasilan tidak kena pajak atau PTKP, PTKP adalah fasilitas yang digunakan oleh orang pribadi sebagai pengurang sebelum memperhitungan pajaknya. Fasilias tersebut adalah sebuah pengurang atas pemenuhan kebutuhan sehari hari seorang Wajib Pajak. Penentuan PTKP selalu dievaluasi mengikuti kebutuhan masyarakat. PTKP setahun yaitu 54 juta atau 4,5 juta sebulan, artinya jika kita memiliki penghasilan 5 juta sebulan, dikurangi terlebih dahulu dengan PTKP 4,5 juta sehingga didapatkan angka 500 ribu. Barulah kemudian dikali tarif 5%, sehingga Pajak yang dibayarkan adalah sebesar 25 ribu atau sebesar 0,5% dari Gaji 5 juta sebulan yang diperoleh. Bisa kita katakan bahwa kontribusi kepada Negara yang kita bayarkan untuk membangun bangsa adalah sebesar 25 ribu sebulan.

Miskonsepsi aturan ini semakin jauh karena kita sering lupa dengan substansi perubahan aturan yang dirancang. Negara selalu hadir untuk melakukan fungsi distribusi pendapatan yaitu memberikan pajak yang lebih besar kepada yang kaya dan menyalurkan subsidi dan bantuan kepada masyarakat berpenghasilan rendah. Hal itu lah yang sebenarya diatur dalam UU No 7 Tahun 2021 yang tidak tersorot. Perubahan yang dilakukan sebenarnya adalah perubahan lapisan tarif bawah untuk tarif terendah dalam perhitungan pajak orang pribadi. Yang awalnya sampai dengan 50 juta dikenakan tariff 5%, mejadi sampai dengan 60 juta dikenakan tarif 5%. Tarif Pajak orang pribadi di Indonesia menerapkan tarif progresif, artinya, semakin tinggi gaji seseorang akan dikenakan tarif pajak yang lebih tinggi. Akan lebih mudah dipahami jika kita simulasilkan, misalnya dengan kasus gaji 10 juta sebulan, 120 juta setahun dikurang PTKP 54 juta setahun, sehingga penghasilan yang dikali tarif adalah 66 juta. Jika dengan aturan sebelumnya 66 juta itu dibagi menjadi 50 juta pertama dikali 5% dan 16 juta bagian itu dikali 15 %, sehingga total yang dibayarkan sejumlah 4,9 juta. Namun dengan aturan terbaru, sampai dengan 60 juta masih dikenakan 5%, sehingga yang dikenakan tarif lebih tinggi 15% hanya 6 juta bagiannya , total yang dibayarkan dalam setahun cukup 3,9 juta atau 325 ribu perbulan dengan gaji 10 juta yang diterima. Dengan contoh diatas ada penurunan sebesar 1 juta yang merupakan dampak dari perubahan ini. Hal ini menunjukan bahwa tidak sama sekali membebani masyarakat bahkan justru melindungi masyarakat melalui pengurangan pembayaran pajak nya.

Lebih lanjut, Aturan ini juga menjawab keluh kesah masyarakat tentang keberpihakan dalam distribusi pendapatan orang Kaya. Selain memperlebar lapisan bawah yang mengurangi beban masyarakat menegah kebawah, juga menambah satu lapisan tarif paling atas yaitu orang pribadi dengan penghasilan kena pajak diatas 5 miliar dikenakan tarif baru yang lebih tinggi sebesar 35%. Aturan sebelumnya hanya mengatur sampai maksimal tarif 30%. Ini menunjukan Asas Keadilan Negara terhadap masyarakat bahwa aturan ini tidak membebani masyarakat menegah kebawah tapi justru sebaliknya melindungi dan mendorong terciptanya distribusi pendapatan yang lebih adil melalui pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi untuk si Kaya.

Respon masyarakat terhadap berita yang mencuat sebenarnya menunjukan kepedulian terhadap Negara, memiliki semangat yang sama yaitu mengurangi beban masyarakat ekonomi menegah kebawah dan memajaki masyarakat Kaya lebih tinggi. Tapi ada satu hal yang perlu dicatat dan perlu perhatian, terlepas dari adanya miskonsepsi atau kesalahpahaman, yaitu rendahnya kesadaran pajak. Masyarakat masih memilih untuk defensive terhadap permasalahan pajak. Persepi yang terbentuk masih tataran bahwa pajak adalah beban yang harus dilakukan. Suasana kebatinan itu kerap terjadi ketika headline berita sering mencuat dengan hal–hal yang memantik. Hal ini menunjukan kita masih memiliki tingkat literasi yang lemah terhadap pajak, padahal pajak adalah nadi Negara, seluruh lapisan masyarakat merasakan manfaatnya, kita sepakat untuk mengurangi utang maka sudah sewajarnya kita mendukung pajak sebagai penerimaan Negara.

Negara yang kita cintai dibangun oleh kita sendiri, uang yang digunakan untuk menyekolahkan kita, membangun sarana prasarana umum, menjaga keamanan dan pertahanan Negara serta pelayanan kesehatan. Kesemuanya itu berasal dari kita sendiri melalui iuran wajib yaitu pajak. Jika bukan kita , siapa lagi. Ketika kita percaya bahwa Negara yang kita cintai ini dibangun oleh kontribusi kita maka sudah sewajarnya pajak menjadi hak bukan lagi kewajiban dalam bernegara, mengapa hak, karena kita berhak untuk memilki peran untuk membangun bangsa melalui pajak yang kita bayarkan. Masih banyak hal yang harus perbaiki sana sini, dan Negara harus tetap berdiri dengan nadinya, kini dan kedepannya. (Muhammad Rakha Ishlah Adimad,Account Representative KPP Pratama Palu)

Pos terkait