KEMAJUAN ilmu pengetahuan dan teknologi membuat peradaban manusia ikut berubah. Perubahan ini banyak membawa membawa dampak positif dalam kehidupan atau aktivitas manusia. Meski di sisi lain juga memberikan dampak negatif. Pola hidup maupun kebiasaan masyarakat di desa maupun di kota pun turut berubah tergerus oleh perubahan jaman. Tradisi gotong royong yang sejak dulu diwariskan leluhur kini perlahan hilang seiring dengan perkembangan teknologi.
Seperti halnya tradisi gotong royong yang sejak dulu dilakukan masyarakat Desa Kaliburu, Kecamatan Sindue Tambusabora, Kabupaten Donggala. Tradisi gotong royong tersebut disebut Nosiala Pale. Dalam bahasa Kaili sebagai etnis mayoritas yang mendiami Kaliburu, itu bermakna mengambil tangan. Namun arti sesungguhnya adalah sebuah tradisi gotong royong dalam menanam dan memanen hasil pertanian. Kearifan lokal ini masih tetap terjaga dengan baik oleh warga desa yang penduduknya dominan bekerja sebagai petani dan nelayan.
Dalam tradisi Nosiala Pale ini, warga secara beramai-ramai bekerja dengan membawa peralatan masing-masing. Ada yang bawa cangkul, linggis, parang dan tombak. Sedangkan pemilik lahan membawa bibit untuk ditanam serta pupuk sebagai penyubur tanaman. Pemilik lahan dibantu istrinya juga membawa makanan yang akan disantap dan diberikan kepada warga yang membantu usai bekerja. Menarik memang karena dalam tradisi ini, masyarakat yang bekerja tidak diberi upah layaknya buruh. Mereka hanya mendapatkan jamuan makanan dari pemilik lahan.
Mereka memang tidak mengharapkan upah atau imbalan uang. Mereka semata bekerja untuk membantu warga atau kerabatnya menanam jagung atau padi sebagai sumber mata pencaharian. Tradisi ini dilakukan secara bergiliran kepada warga.
Dalam tradisi ini, warga terlebih dahulu membersihkan lahan yang akan ditanami jagung atau padi. Setelah bersih, mereka mulai bekerja dan berbagi tugas. Ada yang menggali lubang untuk tempat memasukkan bibit jagung. Caranya sederhana, cukup menancapkan tombak ke tanah yang akan ditanami jagung. Lubang tancapan tombak tadi itulah kemudian diisi bibit jagung. Ada yang khusus bertugas mengisi bibit jagung rata-rata dua biji per lubang.
Salah satu tokoh masyarakat Desa Kaliburu, Samdan menuturkan jika tradisi Nosiala Pale ini merupakan warisan leluhur dan sudah dilakukan warga secara turun temurun. Tradisi ini tidak hanya dilakukan untuk menanam jagung tapi juga menanam pagi atau mengolah lahan pertanian. Mayoritas warga Desa Kaliburu memang hidup dari hasil pertanian dan perkebunan. Sebagian lainnya berprofesi sebagai nelayan. Lokasi desa Kaliburu sebenarnya cukup strategis karena juga berada di pesisir pantai sehingga warganya punya mata pencaharian beragam.
Kebun milik warga di Dusun Silamolo Puncak, Desa Kaliburu, Kecamatan Sindue Tambusabora, Kabupaten Donggala mendadak ramai. Ada puluhan petani tengah berkumpul sembari menggenggam tombak seukuran satu setengah meter. Mereka bukan hendak berburu. Melainkan sedang bersiap menanam jagung secara gotong royong di kebun milik Samdan yang letaknya di lereng bukit tersebut. Berbeda di daerah lain yang umumnya menggunakan cangkul dalam menanam jagung.
Bagi masyarakat Desa Kaliburu, Nosiala Pale tidak hanya sekadar menjadi tradisi yang bermanfaat untuk membantu meringankan pekerjaannya. Lebih dari itu, tradisi ini yang menjadi bagian dari kearifan lokal ini sesungguhnya memiliki banyak nilai, khususnya nilai sosial. Masyarakat bisa terus menjaga tali silaturahmi, kebersamaan, kekeluargaan, hidup kompak, rukun dan damai yang tentunya berdampak pada ketenteraman hidup warganya. Meski dihuni beragama etnis dan agama namun masyarakat Desa Kaliburu hingga kini tetap hidup rukun dan damai. (Syamsuddin, S.S, M.Si dan Ridwan, S.Pd, M.Si, Dosen Universitas Alkhairaat Palu).