Di hari kemerdekaan ke 76 kali ini terasa sesak, negeri zamrud khatulistiwa yang kita cintai ini ditimpa wabah penyakit (pandemi corona) yang belum berkesudahan. Pandemi ini menyebabkan ekonomi tak bertumbuh. Ratusan ribu orang kehilangan pekerjaan dan ribuan pekerja di sektor informal /UMKM tak bekerja dan terpaksa pulang kampung. Usaha hotel dan restoran mengibarkan bendera putih, tanda menyerah. Dilain pihak para tenaga medis makin kewalahan seiring meningkatnya anak negeri yang terpapar corona. Angka terkonfirmasi corona memang belum juga melandai, masih menunjukkan trend peningkatan. Pada laporan Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Nasional, Sabtu (14/8/2021), angka kasus positif corona di negeri kaya sumber daya alam ini sudah mencapai 3,77 juta dan total meninggal sebanyak 115 ribu orang. Angka ini dipastikan jauh lebih kecil dibandingkan kasus atau fakta di lapangan, karena virus corona dan berbagai variannya saat ini, pemicu penyakit infeksi corona bisa berbiak secara eksponensial. Pertumbuhan eksponensial ini artinya, jika jumlah kasus meningkat 2 kali setiap hari. Karena sifatnya yang eksponensial, jika dari 2 kasus pertama menjadi 4 kasus hanya butuh 2 hari. Demikian seterusnya hingga dari 1.000 kasus menjadi 2.000 kasus dan 10.000 menjadi 20.000 juga hanya dibutuhkan waktu masing-masing dua hari.
Dan hari merdeka itu makin sesak, akibat cara kita menyikapi pandemi corona yang tak juga ada kebersamaan dan persatuan, namun penuh sahwa sangka dan kebencian. Segala upaya dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi anak negeri dari wabah corona ini sering kali ditanggapi sekedar pencitraan dan bahkan dianggap bagian dari kerja-kerja politis untuk mempertahankan kekuasaan an sich. Kita kehilangan obyektifitas, yang ada tersisa hanya kebencian. Penggunaan media sosial semakin memudahkan penyebaran berita kebencian (hoaks) itu memasuki relung hati dan pikiran kita. Tak ada lagi selektifitas informasi. Bila informasi itu datang dari pemerintah sekalipun akurat, tetap akan ditolak. Sebaliknya bila informasi dari mereka “oposisional” atau yang kelompok yang menentang akan dibenarkan dan disebarkan meski akurasi informasi dan datanya demikian lemah. Polarisasi demikian terpatri, disaat kita butuh kerja sama dan persatuan untuk merdeka dari corona. Polarisasi menjadi normalitas baru dalam literasi kebangsaan kita.
Dan kita seakan lebih memahami cara mengatasi pandemi ini dibandingkan mereka yang diberi kewenangan untuk itu. Segala bentuk larangan kita sikapi dengan perlawanan dan dipenuhi dengan kecurigaan yang berlebihan. Dan selanjutnya yang hadir adalah kebencian dan kemarahan. Tak ada lagi kebersamaan, kerja sama, persatuan dan cinta seperti pendahulu, para pejuang kemerdekaan, para founding fathers, para pendiri negeri lakukan. Semangat persatuan dan semangat rela berkorban itulah yang berhasil mengusir penjajahan di negeri ini meski hanya bermodalkan bambu runcing. Mereka juga, para penjuang kemerdekaan itu, menyakini bahwa kemerdekaan itu bukan semata karena ikhtiar mereka, namun kehendak Allah Swt, Tuhan Yang Maha Kuasa. “Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Jiwa dan semangat para pendahulu itu, harus kita miliki saat ini. Hari kemerdekaan ke 76 patut dijadikan momentum untuk merdeka dari corona, merdeka dari pandemi ini. Persatuan dan kerja sama sangat diperlukan. Hilangkan berburuk sangka, jangan biarkan diri kita terbelenggu dengan berita hoaks, kebencian dan kemarahan yang tak berkesudahan. Karena memendam kemarahan laksana mengenggam bara api yang membakar bangsa kita sendiri dan memedam kebencian laksana racun yang setiap saat mengerogoti kehidupan bangsa kita juga sendiri. Mari, dihari kemerdekaan ini kita padamkan kebencian dan kemarahan itu dengan cinta dan semangat persatuan sebagaimana para founding fathers lakukan untuk memerdekakan negeri ini. Jadikan momentum perayaaan kemerdekaan ini sebagai jembatan emas menuju kebebasan bangsa dan negeri ini dari pandemi corona. Kita punya tanggung jawab bersama untuk menyelamatkan diri dan saudara kita dari pandemi corona. Kemerdekaan itu harus kembali kita raih, merdeka dari corona. Terus berikhtiar dengan disiplin dengan prokes yang telah ditetapkan yakni mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan dan mengurangi mobilitas (5M). Tak lupa menyakini bahwa apa yang terjadi dijagat raya ini adalah kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Maka itu mari terus berdoa, agar dibukakan ampun atas khilaf dan dosa yang kita lakukan selama ini. Bangsa kita tak kuasa mengatasi pandemi ini tanpa pertolongan-Nya. Tabe, Merdeka!!!.(Dr H Kasman Jaya, M.Si, Dosen Universitas Alkhairaat Palu)