JELANG Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak, yang voting day-nya akan dihelat Rabu, 27 November 2024, maka perbincangan seputar Bakal Calon (Balon) kepala daerah yang akan ikut berkontestasi menjadi menu menarik saat ini. Baliho para balon kepala daerah baik gubernur maupun walikota dan bupati juga sudah mulai ramai terpajang. Tidak ketinggalan para relawan, ikut memproklamirkan balon itu di media sosial (medsos) tentu dengan berbagai kelebihan dan karakter positif yang dimiliki sang balon.
Di Sulawesi Tengah ada 13 Kabupaten/Kota dan Propinsi akan melaksanakan Pilkada serentak. Lobi kepartai politik, pemilik sah perahu politik ramai dilakukan para Balon. Para balon menyadari betul pentingnya perahu politik itu dalam kontestasi Pilkada. Perahu politik menjadi syarat penting untuk memenuhi eligibiltas. Eligibilitas secara sederhana dapat juga dimaknai sebagai syarat mengikuti aturan undang-undang yang berlaku. Aturan yang digunakan sebagai payung hukum dalam Pilkada serentak tahun ini adalah Undang Undang 10 tahun 2016. Syarat pemenuhan eligibilitas dapat dicermati pada Pasal 40 (1) yang menyebutkan bahwa Partai Politik (Parpol) atau gabungan Parpol dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikitnya 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPRD atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Dan bila melalui jalur perseorangan dapat dicermati pada pasal 41 menyebut calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur (Pilgub) dan calon Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota (Pilbup/Pilkot) jika memenuhi syarat dukungan jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih dan termuat dalam daftar pemilih tetap pada pemilihan umum atau pemilihan sebelumnya yang paling akhir di daerah bersangkutan, dengan ketentuan harus didukung paling sedikit 6,5% hingga 10% menurut jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap dan jumlah dukungan tersebar di lebih dari 50% jumlah kabupaten bila pemilihan gubernur dan atau kecamatan bila pemilihan bupati/walikota di kabupaten/kota dimaksud.
Persyaratan ini dengan sendirinya menyebabkan para balon kepala daerah di daerah ini harus melakukan lobi tingkat tinggi untuk merebut perahu politik, karena para balon menyadari tak muda menggunakan jalur perseorangan, bila kita tidak ini menyebut kurang menjanjikan. Syarat jalur perseorangan cukup berat memang, diperlukan paling sedikit 10 % menurut penduduk yang termuat dalam data pemilih tetap paling akhir di daerah ini baik Pilgub maupun Pilbup dan Pilkot. Olehnya menjadi menarik dicermati bagaimana tarik menarik dukungan koalisi partai untuk mengusung salah satu pasangan calon kepala daerah, baik ditingkat propinsi maupun kabupaten kota. Dan saat ini semua parpol masih melakukan seleksi balon, belum ada rekomendasi. Eligibilitas calon akan terpenuhi bila memenuhi syarat aturan perundang-undangan untuk Pilgub diperlukan 11 kursi minimal dan tidak satupun parpol yang memiliki syarat itu, artinya harus terjadi koalisi parpol. Hal yang sama untuk Pilkot diperlukan 7 kursi, dan Pilbup antara 6 dan 7 kursi, sesuai jumlah total kursi di DPRD.
Tanpa eligibilitas, maka elektabilitas setinggi langit pun akan menjadi percuma. Jadi, seorang balon kepala daerah tidak cukup hanya bermodalkan popularitas, kapasitas dan elektabilitas saja, yang lebih penting adalah soal eligibilitas, keterpenuhan syarat perahu politik untuk didaftarkan menjadi calon kepala daerah. Olehnya demi pemenuhan eligibilitas ini, tarik menarik kepentingan sulit terhindarkan, dan kepentingan pragmatis para pemilik perahu (parpol) kadang lebih banyak mengemuka. Politik transaksional masif terjadi. Kepentingan balon bermodal tebal sering kali lebih dominan dan ampuh.
Harapan tentu saja agar di daerah ini masyarakat disuguhkan banyak pilihan calon kepala daerah. Tidak terjadi politik sapu jagat, memborong perahu politik. Parpol memang masih cenderung memosisikan diri sebagai perahu politik untuk calon bermodal besar. Parpol sepertinya sadar bahwa modal untuk kelangsungan hidup partai jauh lebih penting, ketimbang menawarkan kader yang belum tentu memiliki “amunisi finansial” dan elektabilitas yang memadai. Dan dalam kondisi seperti itu maka jejak rekam calon termasuk integritas, sering terabaikan.
Akhir kalam, bila Pilkada dibiarkan berbalik arah dan hanya mengakomodir kekuatan alokatif (politik transaksional), ketimbang kekuatan otoritatif (kapasitas dan integritas balon), maka kita telah membiarkan pilkada kehilangan daya magis edukasi politiknya, dan tersisa hanya menjadi ajang perjudian elit politik lokal. Dan stigma bahwa demokrasi yang bernama Pilkada itu menjadi hajatan mahal yang tak bermoral menjadi benar adanya. Wallahulam bissawab. (Dr.H Kasman Jaya Saad, M.Si, Dosen Universitas Alkhairaat Palu)