PALU-Kondisi vitalitas bahasa daerah di Indonesia saat ini cukup memprihatinkan. Selain terancam punah, beberapa bahasa daerah kini bahkan dalam kondisi kritis. Situasi ini tentunya harus segera ditangani secara serius oleh semua pihak, tidak hanya pemangku kepentingan tapi juga kalangan anak muda yang sering disebut kaum milenial. Tahun 2023, Indonesia memiliki 720 bahasa daerah dan terbanyak kedua setelah Papua Nugini yang memiliki 841 bahasa.
Hal itu terungkap dalam seminar nasional bertajuk Preservasi Bahasa, Sastra dan Budaya yang digelar Fakultas Sastra Universitas Alkhairaat Palu, Sabtu (24/9/2023) pagi di Kampus Unisa Palu. ‘’Badan Bahasa Kemendikbudristek Republik Indonesia mengungkap sebanyak 25 bahasa daerah di Indonesia kini terancam punah. Selain itu, terdapat enam bahasa daerah yang bahkan dalam kondisi kritis,’’ungkap Drs Imam Budi Utomo, M.Hum, Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan Bahasa dan Sastra yang tampil sebagai narasumber dalam seminar tersebut.
Imam mengungkapkan, penyebab utama terancam punahnya puluhan bahasa daerah tersebut karena mayoritas penutur yang berusia 20 tahun ke atas dan generasi tua tidak berbicara kepada anak-anak atau diantara mereka sendiri dengan bahasa daerah. Demikian halnya, kata dia, enam bahasa daerah yang dalam kondisi kritis itu dipicu oleh penuturnya yang hanya terdiri dari kelompok masyarakat berusia 40 tahun ke atas dan jumlahnya sangat sendikit.
Agar bahasa daerah tersebut tidak punah, tambahnya, maka pemerintah bersama semua stakeholder saat ini melakukan revitalisasi dengan tujuan untuk menjaga kelangsungan hidup bahasa daerah dan sastra daerah. Selain itu agar para penutur muda dapat penutur aktif bahasa daerah dan pada gilirannya memiliki kemauan untuk mempelajari bahasa daerah dengan penuh suka cita.
Pemateri lainnya, Syamsuddin, S.S, M.Si yang juga Dekan Fakultas Sastra Unisa mengungkapkan jika ada beberapa faktor penyebab tergerusnya kebudayaan daerah yang khususnya bahasa dan sastra yakni kurangnya kecintaan akan budaya daerah tersebut , dukungan pemerintah yang tidak maksimal serta pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi . ‘’Anak muda saat ini cenderung lebih bangga dengan budaya luar ketimbang budayanya sendiri. Mereka gengsi berbahasa daerah dan tidak membudayakan penggunaan bahasa daerah baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat,’’tandasnya.
Kondisi itu pula yang menjadi pemicu terancam punahnya sejumlah bahasa daerah di Sulawesi Tengah. Karenanya, ia berharap kaum milenial khususnya di Sulawesi Tengah bisa menjadi agen penyelamat kebudayaan daerah terutama terkait bahasa, sastra maupun unsur budaya lainnya.
Sementara itu, pemateri lainnya Asrianti S.Pd, M.Pd selaku Ketua Afiliasi Pengajar dan Pegiat Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (APPBIPA) Sulawesi Tengah menekankan pentingnya memiliki rasa kecintaan dan bangga terhadap bahasa dan budaya Indonesia maupun daerah. Bahasa Indonesia, lanjutnya, saat ini justru semakin diminati oleh banyak negara dan hal tersebut menandakan jika bahasa Indonesia sudah mendunia. Tidak hanya di Asia Tengah tapi juga di Australia, Timur Tengah dan Eropa. ‘’Bahasa Indonesia maupun budayanya saat ini semakin diminati oleh negara lain. Semakin banyak negara yang tertarik untuk belajar bahasa Indonesia maupun budayanya. Jadi kita harus bangga sebagai orang Indonesia,’’terang Dosen Universitas Tadulako ini.
Seminar nasional yang berlangsung sehari dan dipandu Reski Anugrah Putra, S.Pd, M.Pd ini, tidak hanya diikuti oleh mahasiswa dan alumni fakultas sastra Unisa tapi juga sejumlah pemerhati bahasa dan sastra dari kabupaten di Sulawesi Tengah dan luar Sulteng. Turut hadir para wakil dekan fakultas sastra dan ketua program studi sastra Indonesia serta Wakil Rektor Bidang Akademik Idrus Aljufri, S.H, M.Pd yang mewakili rektor sekaligus membuka seminar tersebut. (SCW)