Protes UU Cipta Kerja, Massa FSPNI dan KSPI Demo DPRD Sulteng

  • Whatsapp
Puluhan massa Federasi Serikat Pekerja Nasional Indonesia (FSPNI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) berunjukrasa di Kantor DPRD Sulawesi Tengah, Senin (13/3/2023) pagi.(syahrul/mediasulawesi.id)

PALU – Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Tengah kembali digeruduk masa aksi yang terhimpun dalam Federasi Serikat Pekerja Nasional Indonesia (FSPNI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), yang mana kali ini untuk menyuarakan beberapa tuntutan atas UU Cipta Kerja yang dianggap mengancam kesejahteraan rakyat, Senin (13/3/2023) pagi.

Dalam pantauan MediaSulawesi.id, tampak sekiranya puluhan masa aksi dengan penuh semangatnya berorasi di depan kantor DPRD Sulawesi Tengah seraya menyampaikan tuntutannya antara lain terkait penolakan terhadap upah murah, outsourching seumur hidup, sistem kontrak, PHK Sepihak, serta penyegeraan pengesahan UU PPRT, audit forensik penerimaan pajak negara, dan pencopotan dirjen pajak.

Hal tersebut mengundang perhatian para pejabat DPRD Provinsi Sulawesi Tengah yang turut berlarian keluar untuk menyaksikan aksi tersebut. Para personil aparatur kepolisian dengan barisan dan seragam lengkapnya pun turut menjaga ketertiban dan keamanan berlangsungnya aksi damai tersebut.

Tak berselang lama, atas berbincangan yang dilakukan oleh negosiator, masa aksi akhirnya diizinkan masuk dan diberikan tempat diterima oleh Ketua Komisi 4 DPRD Provinsi Sulawesi Tengah Alimuddin Paada, Anggota Komisi 4 Fairus Husen, dan anggota komisi 1 Ronald, yang kemudian menggelar rapat dengar pendapat bertempat di ruang operator Baruga kantor DPRD Provinsi Sulawesi Tengah.

Ketua DPD FSPNI Lukius Todama mengatakan, tujuan aksi damai tersebut guna menyampaikan aspirasi masyarakat khususnya para buruh untuk tidak mengesahkan UU Cipta Kerja, kata dia, UU tersebut berisi beberapa peraturan-peraturan yang mengancam dan merugikan hak kesejahteraan rakyat buruh. “Karena dimana di dalamnya sangat merugikan hak-hak para pekerja buruh,” ujarnya dihadapan anggota DPR saat gelar rapat dengar pendapat.

Menurut Lukius, adanya outsourching dalam peraturan perusahaan yang melewati kontrak  berpotensi menyulitkan para pekerja buruh dalam hal cuti, termasuk cuti melahirkan bagi kaum perempuan. “Dikarenakan outsourching ini melewati kontrak, bagaimana mau dapat cuti kalau kontraknya hanya 2 bulan saja,”

Selain itu, lanjutnya, PHK Sepihak juga kini tengah marak terjadi, dalam paparannya mengatakan contoh kasus yang ada di PT GNI Morowali Utara kerap mempraktekan PHK sepihak tersebut. Menurutnya, peraturan haruslah diberikan pembinaan terlebih dahulu layaknya UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sebelum direvisi menjadi UU Cipta Kerja. ” Kalau dulu misalnya ketika ada pelanggaran terlebih dahulu diberikan teguran atau peringatan, seperti sebelumnya(UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, red) bilamana dalam jangka waktu 6 bulan tidak melakukan kesalahan maka SP akan gugur dengan sendirinya, tetapi dengan adanya UU Cipta Kerja ini tidak ada lagi yang seperti ini,” bebernya.

Demikian pula terkait penyegeraan pengesahan Rancangan UU PPRT, kata dia, sampai saat ini belum terdapat aturan yang jelas terkait perlindungan bagi para pekerja rumah tangga. “Tolong segera disahkan RUU PPRT, karena tidak ada perlindungan hak bagi pekerja rumah tangga,” tandasnya.

Sementara itu, menanggapi hal tersebut, anggota Komisi 4 Fairus Husen membeberkan bahwa sekiranya pembahasan terkait permasalahan-permasalahan terkait hak-hak para buruh, bahkan secara pribadi ia mengatakan sepakat untuk menolak UU Cipta Kerja tersebut khususnya bagi perlakuan sepihak yang merugikan para pekerja. “Saya pribadi menolak itu (UU Cipta Kerja, red), dimana segala sesuatu yang dilakukan sepihak tentu kami sebagai wakil rakyat tidak mungkin kami bertolak belakang terlebih selama kami berbicara soal kepentingan masyarakat khususnya teman-teman buruh,” bebernya.

Lanjutnya, menurutnya, dalam UU Cipta kerja masih banyak aturan-aturan yang merugikan khususnya bagi kaum perempuan. “Karena ada banyak point yang merugikan khususnya bagi perempuan,” tambahnya.

Menambahkan hal tersebut, Ketua Komisi 1 DPRD Ronald mengatakan sekalipun terkait evaluasi dan pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan yang ada bukanlah kewenangan DPRD Provinsi, akan tetapi kata dia, masih terdapat ruang untuk memberikan laporan langsung terkait kasus yang merugikan bagi pekerja yang terjadi di perusahaan. “Walaupun evaluasi dan pengawasan terhadap perusahaan bukan haknya kami secara kewenangan langsung, tapi kami ada ruang melalui laporan kasus langsung, misalnya terjadi implementasi ternyata ketika dikerjakan begini kerugiannya,” ujarnya.

Pembahasan berlangsung cukup intens, tuntutan demi tuntutan dibicarakan satu persatu hingga kemudian selesai dengan aman dan tertib. Saat dikonfirmasi Ketua Komisi 4 DPRD Provinsi Sulteng Alimuddin Paada mengisyaratkan untuk segera membuatkan konsep terkait tuntutan tersebut dengan jelas dan gamblang, Menurut Alimuddin itu dapat kemudian menjadi bahan tindak lanjut. “Kalau memang serius, bikin  konsepnya supaya kita lihat dan bisa diteruskan, silahkan dibuat dan kita akan lakukan koreksi,” bebernya Kepada MediaSulawesi.id.(SCW)

Pos terkait