Masyarakat Katu Tuntut Pelepasan Lahan 8.565 Hektar Kawasan TNLL

  • Whatsapp
Konflik lahan antara Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL) dan Masyarakat Katu, belum juga berakhir.(windy/mediasulawesi.id)

PALU-Konflik lahan antara Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL) dan Masyarakat Katu, belum juga berakhir. Konflik selama puluhan tahun sejak Pemerintah Indonesia terkait penetapan kawasan Lore Kalamanta sebagai Cagar Alam Biosfir UNESCO pada 1977 silam.

Koordinator Lapangan Masyarakat Katu Menggugat, Reinaldi Pantoli mengatkaan pengusiran terhadap orang Katu tak putus-putus bahkan sejak kolonialisme. Kata dia, di era kolonialisme pemindahan paksa terhadap orang Katu dilakukan sebanyak tiga kali. Setelah Indonesia merdeka, orang Katu kembali dipindah karena agenda TNLL.“Pada 1993, ketika kongres Taman Nasional di Bali, pemerintah Indonesia memindahkan penduduk Katu Tujuh kilometer dilingkar dalam di bagian tenggara Taman Nasional Lore Lindu.” Tutur Reinaldi

Sejak saat itu, kata dia orang Katu mulai berurusan dengan TNLL dan berulang kali diancam oleh Polisi Kehutanan dan pejabat pemerintah lokal karena menolak pindah.

Lebih lanjut, tutur Reinaldi pada 1997 pemerintah Indonesia kembali memindahkan masyarakat Katu melalui program resettlement di lembah behoa saat ini dikenal dengan Desa Baleura. Program ini kata dia, didanai oleh Asian Development Bank (ADB).

Program ini,kata dia, tidak berhasil karena menuai penolakan dari masyarakat Katu yang didukung sejumlah aktivis lingkungan, kemanusiaan dan mahasiswa. Sehingga pada April 1999, kata Reinaldi Kepala Balai TNLL, Ir. Banjar Yulianto Laban, MM mengeluarkan surat pernyataan Nomor 35/VI-BTNLL.1/1999 yang mengakui keberadaan masyarakat Adat di Desa Katu. Meski demikian kata dia, status wilayah Katu sepenuhnya masih areal TNLL artinya sertifikasi tanah dan perluasan pembangunan tidak dapat dilakukan“Sampai hari ini, masyarakat Katu tidak dapat melakukan sertifikasi tanah dan perluasan pembangunan seperti percetakan sawah baru karena wilayah Katu masih bagian dari TNLL.” Tuturnya

Pilihan Redaksi :  Kader Pelopor Kerukunan Dunia Maya Garda Terdepan FKUB Sulteng

Keberadaan TNLL menurut Reinaldi berdampak pada kesejahteraan dan ketidak pastian hukum terhadap hak atas pemilikan dan penguasaan tanah bagi masyarakat Katu yang mayoritas bekerja sebagai petani. ‘’Kami jadi ragu dan was-was menggarap lahan karena keberadaan TNLL yang mengklaim seluruh tanah leluhur kami.” Tuturnya

Pengalaman masa lampau kata Reinaldi telah menjadi bekal bagi orang Katu. Buktinya kata dia, pada april 2017 petugas Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) wilayah XVI Palu tiba-tiba datang memasang tata batas di dalam kebun dan sawah warga tanpa sosialisai. Sehingga kata Reinaldi masyarakat Katu melalui aksi demonstrasi ini menuntut Pemerintah Indonesia melalui Gubernur Sulawesi Tengah sebagai perpanjangan tangan Presiden Republik Indonesia untuk melepaskan wilayah kelola masyarakat Katu seluas 8.565 hektare dari kawasan TNLL.

Pilihan Redaksi :  Kader Pelopor Kerukunan Dunia Maya Garda Terdepan FKUB Sulteng

Ia juga menyatakan 6 tuntutan lainnya untuk menjadi perhatian Gubernur terpilih di desa Katu. Pertama kata Reinaldi petani Katu butuh sawah dan irigasi. Selama ini kata dia, petani Katu hanya menggarap 31 hektare lahan sawah dari jumlah penduduk 419 jiwa atau 120 kepala keluarga.  Itu pun kata dia, kebanyakan sawah di Katu hanya menunggu tada hujan. “Jadi kalau tidak hujan, selama itu lahan sawah menganggur sampai musim penghujan tiba.” Kata Reinaldi

Tuntutan kedua, kata Reinaldi masyarakat Katu butuh input pertanian modern dan pengetahuan mengelola lahan secara produktif. Hal ini, menurut dia merupakan persoalan mendasar yang selalu menjadi hambatan petani di Katu. Tuntutan ketiga yang juga menjadi hambatan masyarakat adalah akses jalan yang buruk masuk ke Katu. Hal tersebut kata dia berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat karena sulitnya memasarkan hasil pertanian keluar dari Katu.

Selain itu, menurut Reinaldi masyarakat Katu juga membutuhkan pendidikan dan kesehatan murah. “Kemiskinan membuat anak-anak petani di Katu tidak mampu mengakses pendidikan hingga perguruan tinggi. Tahun 2020 tercatat hanya 7 persen anak-anak Katu yang bisa mengenyam pendidikan menengah atas hingga perguruan tinggi.” Tandasnya

Pilihan Redaksi :  Kader Pelopor Kerukunan Dunia Maya Garda Terdepan FKUB Sulteng

Begitu juga kesehatan, kata dia angka kematian bayi cukup tinggi di Katu. Hal ini kata dia karena kualitas kesehatan yang buruk  dan ketidakmampuan masyarakat melahirkan di Rumah Sakit (RS).Lanjut dia, tuntutan masyarakat Katu yang ke lima adalah akses terhadap jaringan telekomunikasi. Selama ini, kata Reinaldi masyarakat Katu tidak perna merasakan jaringan telekomunikasi sehingga sulit menyesuaikan dengan perkembangan terutama bagi anak-anak yang melaksanakan sekolah daring.

Tuntutan terakhir kata dia, masyarakat Katu meminta jaminan keamanan dari aksi-aksi terorisme di wilayah lore dan sekitarnya. Selama ini, petani di Lore terganggu karena takut berpergian keluar apalagi pergi menggarap kebun. “Hal ini harus menjadi perhatian serius Gubernur Sulawesi Tengah, H. Rusdi Mastura, karena kami sebagai petani hidup dari menggarap lahan. Kalau tidak bisa menggarap lahan, maka kami tidak akan makan artinya kalau tidak makan maka kami akan mati.” pintahnya.(NDY)

Pos terkait