REUNI KAWAN HAJI PART II

  • Whatsapp
Dr.H. Kasman Jaya Saad, M.Si (ist)

Di tengah merebaknya fenomena Citayam Fashion Week dan tragedi polisi Brigadir Joshua (Kasus tembak menembak Polisi), kami kembali berkumpul di rumah salah satu kawan haji. Haji Maya begitu kami seangkatan haji memanggilnya, pribadi yang bersahaja dengan wajah yang selalu sumringah, menyiapkan menu sederhana  namun menggugah selera melengkapi kebahagian kami ahad siang itu di rumahnya di kaki gunung Gawalise, Donggala Kodi kota Palu.  Pertemuan yang dimaksudkan sebagai ajang silaturahmi bagi kawan haji seangkatan 2017 itu, digelar kedua kalinya dibulan dzulhijjah, dimana saudara-saudara kami sudah menyelesaikan prosesi hajinya, dan pertengahan bulan Agustus ini kawan haji Sulawesi Tengah akan kembali ke tanah air.

Di tengah kesyukuran, pertemuan kawan haji kami maknai lebih subtil (dalam), untuk saling mengingatkan bahwa haji bukan sekedar simbol aksesoris kultural, atau sekedar  menambah ‘peci’ reputasi dengan gelar haji atau hajja, namun jauh dari itu bahwa ketika telah menunaikan ibadah haji harus tercermin perilaku tawa’du dan lahirnya kesadaran musyahadah kepada Allah Swt.  Ibadah haji pada hakikatnya suatu tindak mujahadah (upaya jiwa yang sungguh-sungguh) untuk memperoleh kesadaran musyahadah (penyaksian). Kesadaran spiritual seperti itu, harusnya direvitalisasi, dengan maksud itulah pertemuan kawan haji kami hadirkan, paling tidak sebulan sekali, untuk saling mengingatkan dan berbagi.

Pilihan Redaksi :  KPU Palu Tetapkan 274.293 DPT Pilkada 2024  

Menghadirkan perilaku tawa’du adalah manifestasi dari pemahaman ritual yang telah dilakukan selama di tanah suci, mengenakan pakaian ihram dengan kezuhudan kembali kepada fitrah yang asli yakni suci-bersih.  Dengan pakaian seragam putih itu pula kami berkumpul melakukan Ukuf di ‘Arafah. Menyadari kekeliruan sebagai pemuja dunia lalu insaf dengan sesungguhnya, menyadari betapa kecilnya kami dan betapa agungnya Allah, lalu larut dengan kebersamaan sebagai mahkluk Allah, kami sama-sama berpakaian putih-putih, memuji, berdoa, sambil mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam. Demikian pula ketika melakukan thawwaf dan sa’i yang dilakukan secara serempak dalam suasana khusyu’ mengesankan keagungan Allah. Bacaan-bacaan yang dikumandangkan mensucikan dan mentauhidkan Allah Swt., memberi makna bahwa kami tetap harus hidup dinamis, senantiasa penuh gerak dan perjuangan, bahkan pengorbanan demi untuk menggapai keridhaan Allah Swt semata.

Peristiwa sa’i juga mengingatkan kami akan perlunya hidup sehat disertai usaha sungguh-sungguh dalam meraih kesehatan, kesejahteraan, dan kebahagiaan paripurna, dalam ridha Allah Swt.  Lalu peristiwa mabit (bermalam) di Muzdalifah dan Mina sebagai bentuk perwujudan pembebasan diri dari setiap perbudakan,  membuang ketamakan, dan mengalahkan sifat kebinatangan. Melepaskan sifat-sifat kami yang tercela, merasa diri kami paling mulia dan paling hebat. Melempar jumroh adalah simbol perjuangan manusia untuk membersihkan hati dengan membuang dan melemparkannya jauh-jauh kecenderungan-kecenderungan egoistik yang seringkali menyesatkan bahkan menyengsarakan.

Pilihan Redaksi :  KPU Palu Tetapkan 274.293 DPT Pilkada 2024  

Melontar jumroh merupakan pertanda mengusir setan yang menggoda Nabi Ibrahim as, Nabi Ismail as, dan Siti Hajar. Itu artinya, setiap jemaah haji harus selalu berusaha mengusir godaan setan yang bersarang dalam dirinya. Melempar jumrah menyimbolkan pelenyapan musuh nyata dan abadi dalam diri, yakni nafsu setan. Ada tiga berhala yang harus dilawannya, yaitu: berhala yang ada di Jumrah Ula, Jumrah Wustha, dan Jumrah Aqabah. Menurut Shariati (1995), ketiga berhala itu melambangkan kekuatan-kekuatan setan yang setiap saat dapat menyerang. Adapun berhala yang pertama yang harus diserang adalah Fir’aun yang melambangkan (penindasan), Qarun (Kroesus) adalah lambang  (kapitalisme) dan Bal’am adalah lambang (kemunafikan). 

Demikianlah prosesi haji yang merupakan kumpulan simbol-simbol yang sangat indah, mengandung simbolisasi filosofis yang maknanya sangat dalam yang dapat menyentuh aktivitas kehidupan sehari-hari. Haji adalah suatu ibadah yang tidak membedakan kedudukan dan status sosial.  Dan makna prosesi haji itulah yang harunya dihayati dan diamalkan  secara baik dan benar oleh kawan haji yang telah diberi kesempatan menjadi tamu Allah di tanah suci-Nya. Melawan segala  bentuk godaan simbol-simbol status sosial yang mengaitkan haji sebagai status pengakuan dan posisi dalam struktur sosial. Olehnya kawan haji tidak boleh terbuai, terayun pada penghargaan dan penerimaan masyarakat dengan dengan simbol-simbol kebanggaan semu itu.  Sebaliknya kawan haji adalah tingkat manusia yang semestinya paling pandai bercermin diri dengan perspektif masing-masing untuk bisa kembali mengevaluasi diri, seberapa jauh atau seberapa dalam pengalaman “ritual” haji memberikan kontribusi bagi kehidupan nyata.   Sehingga kehadiran kawan haji dalam setiap profesi, komunitas dan rukun warga akan mampu memberikan kesejukan, kecintaan, kebenaran dan keadilan kepada sesama. Dengan kesadaran  demikian akan tercipta ketentraman dan kedamaian di keluarga, di masyarakat bahkan di muka bumi. Terima kasih Haji Maya dan Selamat datang kawan Haji 2022, semoga menjadi haji mabrur.(Dr. H. Kasman Jaya Saad, M.Si, Dosen Universitas Alkhairaat Palu)

Pos terkait