REUNI KAWAN HAJI

  • Whatsapp

Ahad kemarin (3/7/22) saya dan kawan-kawan haji, reuni setelah lima tahun tak berkumpul. Menyebutnya “kawan haji”, karena tahun 2017 kami berangkat bersama dan dalam kelompok yang sama dan penyebutan itu juga sekedar untuk memperjelas serta membedakan dengan sebutan reuni dengan kawan-kawan yang lain. Reuni yang diinisiasi ketua kelompok haji yang baik hati dan amanah karena banyak menolong selama di tanah suci,  menjadi ajang melepas rindu dan membagi kesan baik selama bersama di tanah suci. Dan rasa rindu kami terlebih-lebih dan berlipat-lipat karena saat ini bulan dzulhijjah, dimana saudara-saudara kami juga sedang berada di tanah suci meneriakkan dan mendendangkan lagu yang sama pernah kami lakukan dan selalu dirindukan  “Labbaika allahumma labbaik! Labbaika allahumma labbaik! Labbaika la syarika laka labbaik innal hamda wannikmata laka wal muk”

Dalam suasana bulan haji kami reuni, kami bercengkaraman, tak sekedar melepas canda dan tawa serta melepas dahaga rindu di antara jeda perpisahan yang telah hanyut ditelan waktu, namun kami merenung, mengumpulkan kepingan puzzle kenangan spiritual, dan kembali mengkilas balik perjalanan spiritual kami masing-masing saat di tanah suci, ketika pakaian ihram itu kami kenahkan secara bersama. Ibadah haji memang dimulai dengan niat sambil mengenakan pakaian ihram.  Pakaian putih tanpa jaitan itu kami kenang secara bersama dan memaknainya.

Pilihan Redaksi :  Kader Pelopor Kerukunan Dunia Maya Garda Terdepan FKUB Sulteng

Pakaian ihram itu  kami kenakan secara bersama ketika Thawaf berputar-putar berlawanan arah jarum jam mengelilingi Ka’bah dan Sa’i berjalan lurus dari bukit Shafa dan di akhiri di bukit Marwa secara bersama dan melakukan wukuf di Arafah,  saat semua jamaah haji berkumpul di satu titik yang sama, haji itu di arafah. Lanjut kami bersama dengan pakaian yang sama mabit (bermalam) di Muzdalifah dan Mina sebagai rangkaian ibadah sebelum melanjutkan ritual ibadah lainnya yaitu melempar jumrah Aqabah di Mina hingga melakukan tahallul, yaitu memotong rambut, sebagai simbol akhir ritual haji melepas pakaian ihram.

Pakaian ihram yang kami kenakan selama beribadah haji melambangkan kesamaan, menanggalkan semua perbedaan serta menghapus segala keangkuhan yang ditimbulkan dari status sosial. Pakaian ihram yang berwarna putih bersih itu adalah pakaian yang “seharusnya” selalu mengingatkan kami, bahwa kami tak boleh sombong dengan segala atribut dunia yang ada. Dengan pakaian itu, kami diingatkan untuk mengubur pandangan yang mengukur keunggulan manusia dari kedudukan, pangkat, status sosial, gelar dan keturunan. Pakaian ihram adalah simbol egalitarianisme bahwa kami tidak memandang orang lain dari pangkat, kedudukan dan superioritas lainnya, melainkan dilihat dari tingkat ketakwaannya.  Pakaian ihram, mengingat kami  untuk kembali ke kefitrian, ke otentisitas dan kesejatian diri.

Pilihan Redaksi :  Kader Pelopor Kerukunan Dunia Maya Garda Terdepan FKUB Sulteng

Dan dalam reuni kemarin sejatihnya pakaian ihram itu harus selalu kami kenakan, tentu tak seperti pakaian putih tanpa jaitan yang selalu kami kenakan saat di tanah suci, namun lebih bermakna filosofis, substansinya bahwa pakaian ihram tak boleh ditanggalkan, agar dapat menjaga diri, menjaga untuk tidak kembali angku, kembali takabur dan kembali membanggakan atribut-atribut dunia lainnya, yang dapat menggerus  pahala yang begitu banyak yang telah diperoleh selama berhaji.  Dan dengan kesadaran itu, pakaian ihram juga dapat menjaga kebersamaan menuju  Zat Yang Maha Mutlak yang tidak memiliki keterbatasan.

Dalam keadaan demikianlah maka reuni kawan haji itu akan lebih memiliki makna, karena terus menjaga pakaian ihram itu dengan baik, baik dalam perilaku personal maupun dalam kebersamaan. Sebab ibadah haji adalah simbol dari kepulangan. Pulang ke pada Zat yang Maha Kuasa, Pencipta segala diri dan alam. Dan pada saat pulang itu tiba, tidak ada yang bisa dibanggakan sebagai bekal menuju-Nya, kecuali iman dan amal saleh. Dan di sinilah perlu digaris bawahi bahwa keberhasilan ibadah haji bukan dilihat dari berapa kalinya seseorang menunaikannya dan bukan pula pada aksesoris kultural, atau untuk menambah ‘peci’ reputasi dengan gelar haji atau hajjah yang disandangnya, namun ditentukan oleh kesadaran musyahadah kepada Tuhan, Allah Swt. Dengan melakukan ibadah haji mestinya mampu membersihkan diri dari unsur-unsur duniawi dan membangunnya di atas batin yang tulus, dan sekembalinya terdapat wujud pakaian ihram yang memiliki bayangan dan pantulan yang memberikan output sosial dengan pribadi yang tawadhu. Dan kami kawan haji adalah tingkat manusia yang semestinya paling pandai bercermin diri dengan perspektif masing-masing untuk bisa kembali mengevaluasi diri, seberapa jauh atau seberapa dalam pengalaman haji memberikan kontribusi bagi kehidupan nyata, arif bagi sesama.  Semoga reuni kawan haji selanjutnya lebih bermakna. Tabe.(Dr. H. Kasman Jaya Saad, M.Si, Dosen Universitas Alkhairaat Palu)

Pos terkait