MEMAKNAI HARI LAHIR PANCASILA

  • Whatsapp
Dr. H Kasman Jaya Saad, M.Si (ist)

Melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016, Pemerintah menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila sekaligus sebagai Hari Libur Nasional. Pada Perpres tersebut dijelaskan bahwa penetapan hari lahir Pancasila mengacu pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 Mei-1 Juni 1945.

“Bahwa rumusan Pancasila sejak tanggal 1 Juni 1945 yang dipidatokan Ir Sukarno, rumusan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 hingga rumusan final tanggal 18 Agustus 1945 adalah satu kesatuan proses lahirnya Pancasila sebagai Dasar Negara,” tulis perpres itu. Dan tulisan ini tidak bermaksud untuk ikut memperdebatkan mengenai hari lahir Pancasila tersebut, namun lebih ingin memaknai hari lahir Pancasila itu kaitannya dengan tema peringatannya tahun  ini yakni  “Pancasila Dalam Tindakan, Bersatu untuk Indonesia Tangguh”.

Pancasila  adalah  dasar dan ideologi negara serta falsafah bangsa, semua kita mafhum akan itu. Namun bila menyaksikan kehidupan bangsa belakangan ini, perilaku koruptif para elit negeri yang belum juga redah dan makin kuatnya polarisasi di tengah-tengah masyarakat, menunjukkan bahwa kemuliaan nilai-nilai Pancasila masih sebatas retorika,belum dalam tindakan, masih jauh harapan dengan kenyataan, antara Das sollen atau kaidah atau norma dalam nilai-nilai Pancasila yang seharusnya dilakukan dan Das sein atau kenyataan yang dipraktekkan para elit negeri dan masyarakat masih jauh dari harapan. Akibatnya masyarakat terlihat apatis dan tidak ikut menjadi bagian dalam setiap perayaan hari lahir dilakukan. Yang ada adalah persaudaraan makin memudar, perbedaan bukan lagi menjadi perekat, tapi sebagai legitimasi untuk saling meniadakan. Polarisasi yang terjadi juga melahirkan pribadi-pribadi yang merasa (pasti) benar dan orang lain (pasti) salah, tidak ada niat baik untuk sesekali mengakui fakta keberhasilan yang lain, begitu juga sebaliknya.

Dan semangat nilai-nilai ketuhanan, yang seharusnya menjadi sandaran transenden, tak memiliki makna apa-apa, miskin dalam tindakan. Para elit negeri sudah tidak segan mengkhianati negeri dan sesamanya. Sumpah jabatan sebagai wujud permaknaannya, disalahgunakan, hanya dijadikan formalitas semata, karena ketamakan dan hasrat meraih kehormatan rendah begitu merajalela.  Dan nilai-nilai kemanusiaan, yang mestinya mewujudkan kesamaan, kederajatan dan persaudaraan manusia, gotong oyong, tergilas oleh perilaku pragmatis dan hedonistis para elitnya, sehingga tak lagi memiliki kepeduliaan akan derita rakyat yang tetap kelam dan tak menikmati manisnya makna kemerdekaan yang dijanjikan, adil dan makmur. Lazim ditemukan di negeri ini adalah  jalan mulus bagi segelintir orang yang hidup bergelimpangan, sama dapat, sama bahagia, sedang yang lain adalah jalan terjal bagi kebanyakan orang yang hidup berkekurungan, sama ratap, sama sengsara. Kekuasaan datang-hilang, silih berganti membuai mimpi, tetapi nasib rakyat tetap sama, hanya kekal menderita (Yudi Latif, 2015).

Nilai persatuan yang harusnya menjadi dasar penting dalam bernegara, tercegat kepentingan golongan dan kekuasaan, sehingga saling mengucilkan dan bahkan saling meniadakan. Keragaman pun, yang semestinya menjadi wahana saling mengenal, saling belajar dan menyempurnakan serta melayani untuk memperkuat persatuan, justru menjadi wahana untuk mempertontonkan kedominasian yang menyeret untuk saling mengklaim kekuatan, dan mengabaikan nilai-nilai pluralitas,keragaman yang merupakan pondasi persatuan.

Pemilihan umum yang sebagai perwujudan demokrasi permuswaratan, dengan maksud untuk memperkuat daulat rakyat, justru menghadirkan polarisasi dan mengancam persatuan. Para elit belum juga menghadirkan demokrasi yang bermartabat, bahwa kepentingan rakyat diatas segala-galanya. Demokrasi hanya dimaknai sekedar jargon dalam proses politik  dan sekedar pilihan sebagai bentuk wujud berlangsungnya proses politik dalam bernegara.  Demokrasi yang hadir  tidak mampu menawarkan solusi berbagai problem sosial masyarakat . Demokrasi dibiarkan menjadi alat pembenaran untuk saling menyerang, dengan mengoperasikan sarana pemaksaan dan kebencian. Praktek menghalalkan segala cara yang penting tujuan tercapai dalam demokrasi bernama Pilkada begitu banyak dipraktekkan.  Kuatnya penetrasi neoliberalisme, memaksa demokrasi (Pilkada) seakan hanya milik pemodal, dan yang terpilih adalah pada mereka yang memiliki “amunisi gizi (dana)’ yang besar, mengabaikan kapasitas apalagi integritas.

Nilai keadilan sosial yang merupakan tujuan negara, belum banyak dirasakan. Semangat mewujudkan keadilan di negeri ini  masih saja termangu, terjal dan penuh liku. Berduri dan penuh onak bagi rakyat kebanyakan. Keadilan seakan menjadi barang langka. Kian sulit ditemukan dan dipahami rakyat kebanyakan. Hukum lumpuh tak kuasa meredam penyalahgunaan kekuasaan. Hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Dan  apabila hal ini terus berlanjut, maka Pancasila sebagai dasar dan falsafah bangsa akan kehilangan eksistensinya, dan perayaan setiap tahunnya akan hari lahirnya tak memiliki makna apa-apa, selain pesta seremonial belaka. Miris.(DR. H. Kasman Jaya Saad, M.Si, Dosen Universitas Alkhairaat Palu)

Pos terkait