Jum’at subuh dalam kegiatan bertajuk “Ngopi Subuh” ngobrol perkara iman dan amal di mesjid dekat rumah, kembali saya didaulat mengisi acara ngobrol subuh itu, dan sayakembali tergerak menuliskannya. Prolog materi saya subuh itu, mengutip Al qur’an surah al-Isra’ [17] ayat 7 “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri”. Ayat ini begitu jelas berbicara mengenai hakikat perbuatan baik dan buruk. Pada dasarnya setiap perbuatan baik yang dilakukan manusia tidak hanya diperuntukkan bagi obyeknya, siapa yang dibantu, melainkan juga bagi pelakunya. Artinya, jika seseorang berbuat baik, maka sebenarnya perbuatan baik itu akan kembali kepada dirinya sendiri, begitu pula sebaliknya, perbuatan buruk dilakukan, buruk juga yang akan dituai.
Berbuat baik kepada sesama merupakan anjuran hidup setiap manusia. Amal baik yang ditanam, baik kelak juga akan dituai. Kebaikan itu pasti akan kembali kepada pelakunya. Berbuat baiklah, tidak ada balasan untuk kebaikan kecuali kebaikan belaka, dan semesta akan merindukan segala perbuatan baik yang kita lakukan. Kebaikan itu, boleh jadi kecil untuk kita, bisa berarti segalanya untuk orang lain. Seperti cerita inspiratif berikut ini, saya mengutipnya dari Facebook (Fb) seorang kawan, tak jelas siapa yang menulisnya.
Seorang wanita kaya raya berdiri di tepi jalan, mobilnya rusak tak mampu berjalan. Berulang kali ia memberi tanda dengan tangannya, namun tak ada yang berkenan hati menyinggahinya. Waktu terus berjalan dan rintik hujan mulai menetes jatuh, hatinya semakin cemas, karena gelap malam mulai berarak. Hingga tiba-tiba saja, sebuah mobil tua yang payah berhenti. Tepat di sisi Sang Nyonya itu. Di belakang kemudi, tampaklah sesosok pemuda berkulit gelap. Wanita itu menatapnya, dan menatap mobil tuanya. Wanita itu ragu, sungguh ragu, apakah ia ikut menumpang, atau tetap menunggu di tepi jalan yang mulai gelap itu?. Nyonya kaya itu bimbang dan ragu, pasalnya ia mengira segenap manusia mengetahui kekayaan dan harta bendanya. Namun akhirnya, ia putuskan menaiki mobil tua itu, dan menumpanginya. Dalam perjalanan itu, Sang Nyonya kaya menanyakan nama dan pekerjaan anak muda itu. Anak muda yang tampak payah dalam kemiskinannya. “Namaku Adam. Dan pekerjaanku adalah sopir taksi,” jawab anak muda itu.
Wanita itu sedikit lebih tenang sekarang. Dalam hatinya, ia sedikit mengutuk diri, agak menyesali buruk sangkanya seawal tadi. Sekarang tampak padanya, betapa anak muda itu sepenuh adab, hingga bahkan tak melirik sedikit pun padanya. Singkat cerita, mereka pun tiba di kota. Dalam hatinya, Sang Nyonya kaya itupun telah berniat akan memberikan seberapa besar pun upah yang diminta pemuda itu. Sang Nyonya pun meminta sopir taksi itu berhenti. Taksi itupun berhenti.
“Berapa upahnya, Anak muda?”
“Tidak ada, Nyonya…”
“Tidak ada??! Mana mungkin? Engkau telah menolongku, dan mengantarku dengan selamat…”
Adam, anak muda itu tersenyum sahaja.
“Upahku adalah Nyonya lakukan kebaikan kepada siapa saja yang ditemui…” dan Adam, sopir taksi itupun berlalu, meninggalkan Sang Nyonya dalam kebisuannya. Dan dalam keterkejutan jiwanya, Sang Nyonya kaya itu melangkahkan kakinya. Di depan sebuah kafe kecil, langkahnya terhenti. Ia masuk ke dalam, dan kepada seorang pelayan wanita ia memesan secangkir kopi hangat. Sang pelayan pun sejurus kemudian datang. Menyajikan secawan kopi panas untuk Sang Nyonya itu. Sang Nyonya memandang pelayan wanita itu. Tampak lelah dan payah sekali wajahnya. Perutnya tampak besar dan buncit.
“Anda tampak sangat lelah. Kenapa?” tanyanya. Pelayan itu tersenyum susah-payah.
“Waktu persalinan sudah menjelang, Nyonya…”
“Mengapa tidak rehat dan cuti saja?”
“Saya harus menabung untuk biaya persalinan bayiku, Nyonya…” Sang Nyonya itu mengangguk pelan. Dan secawan kopi panas itupun selesai, sang Nyonya membayar kopinya. Sang pelayan membawa uang itu ke kasir untuk mengambilkan kembaliannya, karena uang besar itu setara dengan 10 cawan kopi. Tapi kursi Nyonya kaya itu telah kosong saat Sang Pelayan ingin menyerahkan kembaliannya. Matanya mengedar ke segenap penjuru, tapi Nyonya itu benar-benar telah pergi. Tapi di meja itu, ia menemukan secarik kertas bertuliskan “Kembalian kopiku itu kuhadiahkan untukmu…” dan betapa gembira hati Pelayan itu, dan ia membalik kertas itu untuk kembali menemukan sebaris kalimat lain “Dan di bawah meja ini, saya juga menitipkan hadiah untuk calon bayimu.” Hampir saja ia berterik histeris, karena yang di bawah meja itu adalah sejumlah uang yang setara dengan gajinya selama 6 bulan. Air matanya tak mungkin lagi dibendung. Ia bergegas pergi, setelah selesai kerjaanya. Ia masuk menerobos pintu rumahnya. Memanggil-manggil sang suami yang lagi galau “Apakah sudah waktunya melahirkan?” jawab Sang Suami. Tapi istrinya memeluknya erat. Suaranya berbaur bahagia dan haru.
“Bersyukurlah, Adam, Akhirnya Tuhan memberikan jalan keluar-Nya!” Dan Adam, supir taksi budiman itu yang menolong sang Nyoya kaya tadi, terdiam tanpa kata mendengar tutur kisah sang istri, dan melihat “hadiah kebaikan” yang dibawanya.
Ini memang cerita, namun perhatikan alurnya, begitu siklus kebaikan itu. Persis seperti disebut ayat di atas, kebaikan yang kamu lakukan itu akan kembali kepadamu, sekarang atau suatu waktu nanti. Berbuat baiklah, dan selalu ingat bahwa tidak ada balasan untuk kebaikan kecuali kebaikan belaka. Namun perlu diingat pula, kita tidak semata melihat sisi kemanfaatan perbuatan baik tersebut bagi diri dan melupakan aspek ketulusan serta keikhlasan. Betul bahwa hakikat perbuatan baik akan kembali kepada pelakunya, namun kita sebaiknya meluruskan niat berbuat baik untuk mengharapkan ridha Allah Swt semata.(Dr.H Kasman Jaya Saad, M.Si, Dosen Universitas Alkhairaat Palu)