CAHAYA DI ATAS CAHAYA

  • Whatsapp
Dr. H Kasman Jaya, M.Si (ist)

TULISAN ini lahir dari diskusi kecil saya dengan jamaah  mesjid dekat rumah, tentang cahaya, tentang Qur’an surah ke 24 ayat 35 “Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”

Nuurun ‘alaa nur, cahaya di atas cahaya. Apa makna dan maksud cahaya di atas cahaya. Begitu dalam Allah Swt. memberi perumpamaan-perumpamaan. Bagiku ayat ini sangat indah dan luar biasa. Tak  ada kehidupan tanpa cahaya. Allah pemberi cahaya kepada langit dan bumi. Tanpa cahaya kita tidak bisa melihat langit dan bumi seisinya. Dan cahaya Allah itu sumber energi yang luar biasa banyaknya dan terus mengalir dalam kehidupan. Dari cahaya itu kita memperoleh sumber-sumber kehidupan, dan membuat segala yang hidup memtransformasikan energi itu dalam diri dan diri kehidupan lainnya. Begitu saya memaknai cahaya dalam diskusi kecil itu. Memaknainya lebih fungsional.

Muchamad Musyafa  lebih dalam memaknai cahaya di atas cahaya dengan menggambarkan hati kita bagaikan sebuah tabung kaca dari lampu minyak yang sangat bersih, sangat murni dan transparan. Lampu minyak itu berbahan bakar dari minyak zaitun. Ruh kita bagaikan minyak zaitun ini. Ia tidak berasal dari bagian bumi manapun, bukan dari barat atau pun dari timur. Ruh kita tidak berasal dari belahan bumi manapun, ruh kita berasal langsung dari Allah Swt. Maka beruntunglah kita yang senantiasa membersihkan tabung kaca (hati) di dalam dadanya, sehingga ketika ruh ini bersinar, maka sinar itu pun keluar dengan luar biasa terangnya. Di dalam tabung kaca atau hati yang kotor maka cahaya ruh tak akan bisa mengeluarkan sinarnya dengan maksimal. Segala amal buruk kita bisa mengotori tabung kaca ini kapanpun. Dan Allah Swt. memimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki. Dia maha mengetahui segala sesuatu, Dia maha tahu jiwa-jiwa mana yang merindukan cahaya-Nya. Allah Swt. menerangkan bagaimana ruh ini diciptakan dengan kualitas dan kekuatan cahaya potensial terbaiknya. Dengan wahyu-Nya, dengan tuntunan-Nya, cahaya potensial itu menjadi nyata. Ia bersinar menembus dinding-dinding kristal tabung kaca. Cahaya-Nya cemerlang mengusir kegelapan. Cahaya di atas cahaya. Ketika kebajikan dilakukan  cahaya sejati melompat dan menumbuk cahaya wahyu. Saat-saat indah inilah dua cahaya akhirnya bertemu. Nuurun ‘alaa nur.

Namun Cak Nun (Emha Ainun Najib) memberikan pendekatan lain untuk memahami apa itu cahaya dan bagaimana sifat-sifatnya dalam tiga tingkatan. Matahari yang selama ini kita percaya sebagai sumber cahaya sebenarnya tidak memancarkan cahaya. Matahari hanya memancarkan energi inti sedemikian rupa sehingga ketika dia menimpa benda-benda alam tertentu akan membuat mata kita menjadi kompatibel sehingga kita bisa melihat. Cahaya merupakan sesuatu yang sangat misterius yang merupakan awal dari kehidupan kita, sekaligus sesuatu yang sangat ghaib yang merupakan ujung dari kehidupan kita. Tiga tingkatan cahaya itu, pertama yang dapat diindera, kedua cahaya berupa gelombang, frekuensi, dan energi yang tak kasat mata, dan dan ketiga cahaya esensial seperti wujud aslinya. Tiga padatan atau gelombang cahaya inilah yang bekerja dalam hidup, baik di dalam maupun di luar diri kita. Gelombang cahaya pertama adalah gelombang materialisme. Bentuknya bisa berupa bumi, kekayaan, jabatan dan semua yang terindera. Gelombang pertama ini merupakan kerak atau ampas dari cahaya. Setelah meninggal nanti, bentukan dari gelombang cahaya pertama ini tak mungkin kita bawa untuk bisa berjodoh dengan cahaya yang lebih sejati.

Bila kita larut dalam terminologi cahaya Cak Nun, maka cahaya  gelombang pertama itu yang banyak kita pahami dan lakoni sekarang ini. Bergumul  dan menyibukkan diri dengan materi. Mengejar cahaya inderawi. Tak ada yang lain kita perjuangkan bahkan dipuja-puja selain tubuh, aksesori, jabatan, harta, simbol dan prestise, namun kita tak juga mengerti sama sekali makna dan substansinya. Cahaya bathin kita tetap redup, bahkan gelap. Hati menjadi  hampa. Terjerembab dalam kebisuan makna, yang tak juga tentram dan bahagia.   Padahal cahaya-Nya selalu turun dan senantiasa dibacakan. Ia datang untuk memantik tiap-tiap hati yang redup di dalam diri kita, namun kita lebih sering lalai.

Duhai pemilik cahaya, hanya kepada-Mu kusandarkan makna sesungguhnya. Karena Engkau yang Maha Tahu. Berikan kedamaian dalam hatiku dan kebahagian yang tak dapat kuungkapkan dengan kata-kata. Jangan pernah Engkau redupkan cahaya yang Engkau berikan dalam hatiku. Engkaulah pemberi cahaya di atas cahaya, terangilah hati ini dengan cahaya indah-Mu.(Dr H Kasman Jaya Saad, M.Si, Dosen Universitas Alkhairaat Palu)

Pos terkait