PALU – Disrupsi digital dan pengaruhnya terhadap industri informasi publik perlu disikapi dengan bijak. Secara kuantitas jumlah media massa melonjak drastis, termasuk di Palu, Sulawesi Tengah. Kenyataan ini harus diiringi dengan peningkatan kualitas dan profesionalisme jurnalis.
Demikian salah satu poin penting yang menjadi pembicaraan dalam diskusi terbatas bersama pengamat dan dosen komunikasi, beberapa pegiat media massa serta tim komunikasi perusahaan perkebunan kelapa sawit Grup Astra Agro, Palu (12/3).
Kualitas dan profesionalisme jurnalis tak bisa ditawar-tawar. Sebab, pengaruh media massa sangat besar. Dengan kekuatan yang dimiliki media, jurnalis dapat mendorong kemajuan dan perkembangan suatu wilayah.
“Maka, kemajuan suatu wilayah itu dapat dilihat dari medianya juga. Daerah yang berkembang baik, ditandai dengan media yang berkembang dengan baik,” kata Pengamat komunikasi sekaligus dosen Universitas Tadulako, Dr. Achmad Herman yang hadir menjadi pemantik diskusi.
Menurut Dr. Herman, media dituntut bekerja secara profesional. Prinsip-prinsip jurnalistik harus diterapkan dengan disiplin yang kuat. Kode etik jurnalistik menjadi rujukan mengingat dampak sebuah pemberitaan bisa sangat luas. Menurutnya, jurnalis tetap harus berkiblat pada pelajaran dasar-dasar jurnalistik.
Dalam ekosistem media saat ini, menurutnya, kolaborasi antara media dan korporasi menjadi kunci dalam menyebarluaskan informasi yang mendalam dan inovatif.
“Semangat teman-teman harus kita hargai,” ujar Syamsudin Tobone, dosen sekaligus pekerja pers yang sudah puluhan tahun aktif di dunia jurnalistik. Ia mengomentari lonjakan jumlah media online paska disrupsi digital.
Kendati demikian, menurutnya, transformasi dan kemunculan jurnalis maupun pengusaha media online perlu diperkuat dengan bekal pengetahuan yang cukup. Terutama, agar mereka dapat menjalankan tugas-tugas jurnalistik dengan baik.
Sikap, perilaku dan produk jurnalistik yang kurang berkualitas dapat memengaruhi citra pekerja jurnalistik secara keseluruhan. Dampaknya bisa menurunkan tingkat kepercayaan publik kepada media massa.
“Tidak sekadar wow atau viral,” ujar salah satu pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sulawesi Tengah, Temu Sutrisno. Jurnalisme yang kini berada di era digital, menurutnya, justru harus makin memerhatikan dampak pemberitaan pada masyarakat.
Bahkan, media dan jurnalis harus kritis mengingat fenomena imperialisme digital yang menempatkan pekerja pers maupun industri media massa dalam posisi yang tidak seimbang dalam hubungan dengan platform digital.
Orientasi bisnis yang menjadi karakter perusahaan platform digital tidak hanya menguatkan kecenderungan mengeruk keuntungan, tetapi juga berpotensi kurang memperhitungkan penurunan kualitas pada masyarakat.(sam)