BALLROOM Palu Golden Hotel, Jalan Raden Saleh, Kota Palu, Jumat (1/12/2023) malam, hampir penuh terisi peserta dialog. Deretan kursi yang disusun menghadap ke satu arah panggung itu diisi ratusan peserta dari kalangan pemuda baik santri, pelajar, dan aktivis pemuda se-Kota Palu.
Kedatangan mereka untuk mengikuti dialog moderasi beragama yang digagas oleh Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kota Palu bekerjasama dengan Jaringan Penggerak Moderasi Beragama Nusantara (JPMBN) Sulteng.
Pemilihan temanya pun tampak relevan dengan kondisi saat ini, “Jalan Harmoni Nusantara”. Antusias para peserta jelas terlihat. Sembari menikmati snack yang dibagikan panitia, cukup menambah gairah suasana diskusi malam itu
Dialog itu menghadirkan tiga tokoh narasumber yang boleh dibilang cocok membahas persoalan itu. Diantaranya Rais Syuriah PBNU, Prof. KH. Zainal Abidin, Kakanwil Kemenag Sulteng, Ulyas Taha, dan Kepala Dinas Kominfosantik Sulteng, Sudaryono Lamangkona.
Bandul jam menunjuk angka 20.25, seorang pria berperawakan sedang menaiki mimbar di depan seluruh peserta. Ya, sosok itu ialah Muh. Sidiq Djatola, selaku Ketua KNPI Kota Palu. Dalam sambutan pembukanya, ia memantik diskusi dengan memberi gambaran bagaimana cara memandang moderasi beragama agar tak menimbulkan gesekan antar sesama umat. Terlebih di era globalisasi dengan perkembangan informasi yang begitu masif.
“Menjadi edukasi kepada kita, agar anak muda Kota Palu mampu menelaah, memilih, dan memilah, mana informasi yang baik dan mana informasi yang bisa memecah belah keutuhan bangsa dan negara,” ujarnya.
Sekira sepuluh menit berdiri, posisi Sidiq digantikan Irvan Aryanto selaku Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Sulawesi Tengah. Kehadirannya mendapat mandat dari Gubernur Sulawesi Tengah, H. Rusdi Mastura, untuk membuka secara resmi kegiatan itu.”Saya berharap kegiatan ini bukan hanya satu-satunya, tetapi bisa berlanjut dengan kegiatan-kegiatan lain yang berkaitan dengan kepemudaan,” ujarnya dalam sambutan.
Ia menyebut pemerintah ambil urung dalam mendukung setiap kegiatan positif yang dilaksanakan para pemuda. Menurutnya, hal itu memang perlu membekali para pemuda terlebih kedepan Sulawesi Tengah bakal menjadi daerah penyangga Ibu Kota Nusantara.
Bertolaknya Irvan dari mimbar pertanda dialog sudah dibuka. Giliran para narasumber menyampaikan pesan dan gagasannya dihadapan para peserta. Diskusi itu dimoderatori oleh Muhammad Aqila Qautsar, mahasiswa Universitas Tadulako Palu.
Mengedepankan Persamaan Beragama
Prof. Dr. Zainal Abidin melakoni narasumber pertama. Pada kesempatan itu ia berangkat dengan materi bertemakan “Membangun Pemikiran Islam Wasathiyah di Era Generasi Milenial”. Sederhananya, ia akan berbicara tentang bagaimana umat dapat mengambil jalan moderat dalam setiap perbedaan.
Menurutnya, menjadi moderat bukan merubah ajaran agama melainkan merubah pola dan cara pandang manusia dalam beragama. Bicara Islam Wasathiyah, menurutnya, sebenarnya adalah menyoal bagaimana menjunjung tinggi toleransi, keterbukaan, menghargai, serta menghormati perbedaan pendapat. “Menghargai perbedaan, karena perbedaan adalah bagian dari ketetapan Tuhan. Apalagi kalau pendapat itu ada rujukannya,” ulas Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sulteng itu.
Ia mengingatkan bahwa pada hakikatnya hadirnya perbedaan bukan untuk diperdebatkan. Mengedepankan persamaan dalam setiap perbedaan adalah langkah jitu mengatasi problematika dalam beragama. Utamanya bagi negara Indonesia yang didiami oleh masyarakat yang plural.”Jangan mengedepankan perbedaan, karena yang terjadi perselisihan, cari persamaan hindari perbedaan. Dalam hubungan sosial kemasyarakatan, kalau dengan Tuhan kita pasti berbeda,” pungkasnya.
Tantangan di Era Digital
Ulyas Taha, selaku Kakanwil Kemenag Sulteng, berkesempatan menjadi narasumber kedua dalam diskusi itu. Materinya membahas tentang kebijakan pemerintah dalam andilnya menjaga nilai-nilai moderasi beragama.
Ulyas menyebut nilai-nilai moderasi beragama sejatinya telah diejawantahkan bahkan sejak didirikannya negara Indonesia. Terbukti dalam sila pertama Pancasila, yang menjunjung tinggi adanya keberagaman agama.
Dalam pandangan kebangsaan, sebutnya, Indonesia bukan negara yang menganut paham sekulerisme dimana negara menjadi netral menyanhkut persoalan agama. Namun bukan juga negara agama. Sebab tak menjadikan satu agama sebagai acuan berkebangsaan dan bernegara.
“Kita adalah negara ber-agama, memposisikan diri di antara, tidak boleh terlalu jauh campuri urusan agama tapi juga tidak boleh lepas tangan,” jelasnya.
Tantangan serius yang harus dihadapi para generasi muda saat ini ialah era globalisasi. Masifnya penyebaran informasi dan teknologi bak kolam berisikan beragam jenis ikan. Langkah konsumtif menjadi hal utama. Hal itu dipaparkan oleh narasumber ketiga, yaitu Sudaryono Lamangkona selaku Kepala Dinas Kominfosantik Sulteng.”Era digital tidak bisa kita jegal, bagaimana cara kita beradaptasi dalam polarisasi komunikasi dan informasi yang selalu berkembang,” urainya.
Saat ini masyarakat harus pandai memilih dan memilah segala jenis informasi yang berkembang. Lebih lagi menyongsong 2045 visi Indonesia Digital. Bukan hanya kesiapan infrastruktur teknologi yang memadai, namun perlu diimbangi dengan adab dan etika ber media sosial.
Acara dialog yang berlangsung lebih satu jam itu kemudian ditutup dengan deklarasi Gerakan Moderasi Beragama Sulawesi Tengah. Para peserta serentak mengucapkan ikrar menjaga empat pilar kebangsaan yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, serta menerapkan nilai-nilai toleransi dalam berkehidupan.(SYAHRUL CW)