PALU – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Region Sulawesi, membentuk Aliansi Sulawesi Terbarukan (Renewble Sulawesi Alliance), yang terdiri dari WALHI Sulteng, Sulsel, dan Sultra. Pembentukan aliansi tersebut guna membahas terkait situasi dan permasalahan yang terjadi di sekitar pertambangan nikel yang ada di ketiga wilayah tersebut.
Sedianya, dalam menjalankan visi dan misinya untuk mendorong upaya-upaya penyelamatan dan pemulihan lingkungan hidup yang ada di Indonesia, WALHI sebagai organisasi gerakan lingkungan hidup terbesar di Indonesia, tak henti-hentinya terus melakukan pemantauan serta pengawasan terkait permasalahan-permasalahan yang dapat mengancam sumber-sumber kehidupan dan lingkungan hidup yang sehat dan berkelanjutan.
Begitu pula terkait keselamatan lingkungan hidup yang ada di Sulawesi, dimana diketahui kini Sulawesi menjadi objek sektor industri besar-besaran, dengan harapan dapat membentuk provinsi Sulawesi menjadi wilayah energi terbarukan, Aliansi Sulawesi Terbarukan menyatakan dengan tegas terkait penghentian aktivitas pertambangan smelter, serta menolak pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 9 Giga Watt yang direncanakan oleh pemerintah Indonesia, khususnya di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara, yang merupakan daerah investasi pertambangan nikel.
Pasalnya, dengan melihat trend pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan energi batu bara, yang juga bersamaan dengan semakin masifnya pertambangan smelter nikel di Sulawesi, munculah kekhawatiran akan terjadinya kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM, eksploitasi buruh, dan pencemaran air dan udara yang ada di Sulawesi, khususnya bagi area sekitar pertambangan.
Terlebih dengan akan dibangunnya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan total kapasitas 9 Giga Watt (GW), tentunya mengeluarkan begitu banyak energi, bahkan berdasarkan data yang didapatkan, pihaknya mengatakan sekiranya 80 persen energi tersebut bersumber dari energi bahan bakar fosil batu bara, yang tentunya dapat menambah kerentanan resiko di area sekitar pertambangan.
“Kini hampir 80 persen energi tersebut itu menggunakan bahan bakar fosil atau dari energi batu bara, dan ini tentu akan menambah kerentanan dan resiko lingkungan di pulau Sulawesi,” beber Amin selaku narasumber saat konferensi pers di salah satu hotel kota Palu, pada Kamis, (16/2/2023) sore.
Tak hanya itu, pada dasarnya dengan aktivitas pertambangan nikel yang semakin masif, mulai dari penebangan hutan, pembangunan tenaga pembangkit listrik, dapat menambah karbon yang terlepas ke udara, yang pada akhirnya dapat mengancam ekosistem sekitar.
Berdasarkan hasil rapat bersama, Aliansi Sulawesi Terbarukan menyatakan sikap tegas untuk menolak pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan total kapasitas 9 Giga Watt tersebut, serta menghentikan seluruh aktivitas pertambangan smelter nikel yang ada di Sulawesi.”Secara tegas, kami Aliansi Sulawesi Terbarukan Menyimpulkan menolak eksploitasi nikel yang rakus karbon,” tegas Amin
Selain itu, lanjutnya, ia pun mengatakakn perlu adanya tindakan secara koletif untuk mengentikan pembangunan tersebut. “Kami mulai khawatir dengan membaca situasi objektif tersebut, maka perlu adanya satu tindakan kolektif untuk menghentikan pemangunan itu,” tambahnya
Sebagai informasi, berdasarkan data yang dipaparkan, kini Pemerintah Indonesia tengah menyiapkan pembangunan energi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan total kapasitas 9 Giga Watt di beberapa ttik, mulai dari provinsi Sulawesi sampai Maluku Utara. Yang nantinya akan menjadi pemasok listrik di sekitar area pertambangan nikel.
Atas hal tersebut, Aliansi Sulawesi Terbarukan sendiri segera merekomendasikan terkait revisi kebijakan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 Tentang Percepatan Pembangunan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, yang menurutnya hanya berdampak kepada kebutuhan industri, serta menerbitkan rekomendasi penghentian rencana pembanguna PLTU tersebut.
Lebih lanjut, menurutnya, berbicara soal Jaminan keselamatan, kesehatan, serta upah yang diberikan kepada para buruh, pada faktanya hingga kini belum terpenuhi secara maksimal, terbukti dengan masih kerap terjadinya konflik oleh para buruh kepada perusahaan terkait tuntutan hak-hak normatifnya.”Toh bicara soal buruh, juga masih sering terjadi konflik menuntut hak-haknya, seperti jaminan kesehatan, kesehatan bahkan upah yang tidak sesuai,” tambahnya
Pada kesempatan tersebut, lanjutnya, demi menjaga keselamatan lingkungan hidup yang sehat dan berkelanjutan, ia mengharapkan langkah konkrit satu-satunya yaitu untuk menolak dan mengentikan pembangunan PLTU 9 Giga Watt tersebut.
Sementara itu, Solidaritas Perempuan Kota Palu, Nona, mengatakan bahwa pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) tersebut merupakan solusi palsu.”Menolak dengan tegas pembangunan energi terbarukan yang merupakan solusi palsu,” tandas Nona.(SCW)