Hari ini, saya menyimak banyak kawan menshare foto-foto mereka sedang ikut upacara hari kesaktian Pancasila di jagat maya. Tak ada yang salah, malah patut diapresiasi. Dan juga mengingatkan saya bahwa lagi-lagi kita perlu memaknai dasar negara itu dengan baik, tidak sekedar hadir merayakannya.
Tema hari kesaktian Pancasila tahun ini seperti judul tulisan saya adalah bangkit bergerak bersama Pancasila. Sebagai dasar negara, Pancasila harus diposisikan sebagai sumber utama bagi para pemimpin negeri dalam pengelolaan negara. Dan sebagai falsafah bangsa, Pancasila sejatinya harus mampu menjadi ruh dan jiwa bagi setiap perilaku pribadi-pribadi anak bangsa. Nilai-nilai Pancasila harus diamalkan, dibumikan untuk bangkit bergerak bersama.
Membumikan dan menikmati kemuliaan nilai-nilai Pancasila tentu selalu dirindukan. Sebagai dasar negara, Pancasila dihadirkan untuk mempersatukan, sebagai perekat perbedaan guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun dalam faktanya, Pancasila hanya “sering” sebagai alat instrumental bagi partai politik, misalnya, untuk sekedar menjadi syarat mengikuti pemilihan umum dan meraih suara sebanyak-banyaknya. Pada tataran penguasa, Pancasila tidak lebih hanya sekedar simbol dan alat kekuasaan. Kalau boleh saya katakan bahwa Pancasila masih sebatas retorika, ‘belum’ bangkit bergerak. Masih ada jarak antara harapan dengan kenyataan, antara Das sollen atau kaidah atau norma dalam nilai-nilai Pancasila yang seharusnya dilakukan dan Das sein atau kenyataan yang dalam tindakan.
Semangat nilai ketuhanan, yang seharusnya menjadi sandaran moral, tak memiliki makna apa-apa, miskin dalam banyak aksi. Para elit negeri, tak malu mengkhianati negeri dan sesamanya. Sumpah jabatan sebagai wujud permaknaannya, disalahgunakan, hanya dijadikan formalitas an sich, karena ketamakan dan hasrat meraih kehormatan rendah begitu merajalela. Nilai moral sudah tak begitu penting.
Pada rana kemanusiaan, yang mestinya mewujudkan kesamaan, kederajatan dan persaudaraan manusia, gotong oyong, tergilas oleh perilaku pragmatis dan hedonistis para elit dan anak negeri, sehingga tak lagi memiliki kepeduliaan akan derita sesama. Di negeri subur makmur ini ditemukan banyak ketimpangan, segelintir orang yang hidup bergelimpangan, sama dapat, sama bahagia, sedang yang lain, rakyat kebanyakan, hidup berkekurungan, sama ratap, sama sengsara. Kekuasaan datang-hilang, silih berganti membuai mimpi, tetapi nasib rakyat tetap sama, kekal menderita. Artinya rakyat tetap kelam dan tak menikmati manisnya makna kemerdekaan yang dijanjikan, adil dan makmur. Moral kemanusiaan yang belum adil dan beradab.
Persatuan menjadi dasar penting dalam bernegara, tercegat kepentingan golongan dan kekuasaan, sehingga saling mengucilkan dan bahkan saling meniadakan. Keragaman pun, yang semestinya menjadi wahana saling mengenal, saling belajar dan menyempurnakan serta melayani untuk memperkuat persatuan, justru menjadi wahana untuk mempertontonkan dominasi yang menyeret untuk saling mengklaim kekuatan, dan mengabaikan nilai-nilai pluralitas, keragaman yang merupakan pondasi persatuan.
Pemilu atau Pilkada yang sebagai perwujudan demokrasi permuswaratan dan sebagai agen perantara dalam perubahan sistem sosial, terlihat secara teknik mengalami kemajuan, namun secara etik mengalami stagnan, bahkan kemunduran. Para elit belum juga menghadirkan demokrasi yang bermartabat, demokrasi yang mendudukan kepentingan rakyat diatas segala-galanya. Namun faktanya, demokrasi lebih sering dimaknai sekedar jargon dalam proses politik atau sekedar pilihan sebagai bentuk wujud berlangsungnya proses politik dalam bernegara.
Demokrasi yang bernama pemilu itu akhirnya tidak mampu menawarkan solusi berbagai problem sosial masyarakat dan bahkan dibiarkan menjadi alat pembenaran untuk saling menyerang, dengan mengoperasikan sarana pemaksaan dan kebencian. Hal itu terbaca dari banyaknya perilaku elit politik yang sering menghalalkan segala cara untuk meraih kepentingan politik-kekuasaan. Kondisi tersebut diperkuat dengan desain institusi demokrasi lebih menekankan pada kekuatan alokatif-modal, ketimbang kekuatan otoritatif- kapasitas.
Dalam kondisi keterpilihan seperti itu, maka tak heran bila banyak urusan negeri terabaikan. Perhelatan politik lima tahunan semestinya menghadirkan partisipasi, kepuasan dan daulat rakyat, namun justru sebaliknya yang hadir adalah ketidaksertaan dan ketidakpuasan. Dan ujung “buruk” semua itu menyebabkan negeri makin terpolarisasi dan makin longgarnya kohesi sosial dan munculnya disharmoni yang mengarah kepada konflik sosial serta munculnya kembali egosentrisme dan primordialisme (baik keagamaan maupun kesukuan). Keadaan demikian dapat mengantarkan negeri ini ketubir jurang perpecahan dan disharmoni bangsa yang tak terkira.
Nilai keadilan sosial yang merupakan tujuan negara, belum banyak dirasakan. Hakekat daripada adil menurut pengertian ilmiah, yaitu terpenuhinya segala sesuatu yang telah merupakan suatu hak dalam hidup bersama sebagai sifat hubungan antara satu dengan yang lain, mengakibatkan bahwa memenuhi tiap-tiap hak di dalam hubungan antara satu dengan yang lain adalah wajib. Semangat mewujudkan keadilan itu masih saja terjal dan penuh liku. Berduri dan penuh onak bagi rakyat kebanyakan. Keadilan sosial kian sulit ditemukan dan dipahami rakyat kebanyakan. Hukum lumpuh tak kuasa meredam penyalahgunaan kekuasaan.
Begitu adanya, semoga dimaknai, tak sekedar hadir merayakan. Mari tetap semangat dan bangkit bergerak bersama Pancasila.(Dr.H.Kasman Jaya Saad, M.Si, Dosen Universitas Alkhairaat Palu)