Kamis kemarin (21/4/2022), saya bersama Dr.Idham Holik (KPU RI), Dr.Sahran Raden (KPU Propinsi Sulteng) dan Khalisa Khalid (Greenpeace Indonesia) menjadi pembicara dalam diskusi Demokrasi (Bacarita Di Zoom) dihelat KPU Kabupetan Poso dengan Tema menarik “Pemilu Iklusif dan Pembangunan Berkelanjutan menyongsong Pemilu Serentak 2024”. Dalam diskusi itu, Dr.Idham dan Dr.Sahran lebih menekankan soal pentingnya pemilu inklusif. “Inklusivitas Pemilu mendorong struktur dan tata kelola Pemilu untuk dapat menjangkau kelompok warga rentan agar memiliki akses yang sama dalam pemenuhan hak dan tanggung jawab sebagai warga negara” ungkap keduanya.
Saya dan bu Khalisa lebih menyoroti soal politik lingkungan. Pemilu tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat elektoral, tapi bagaimana Pemilu ini juga memperhatikan isu-isu lingkungan. Pemilu bukan sekadar menjamin kedaulatan rakyat (Demokrasi), namun juga daulat lingkungan (Ekokrasi). Saat ini kita mengalami trend peningkatan kerusakan lingkungan yang tak berkesudahan. Kerusakan lingkungan hidup tidak bisa dilepaskan dengan pendekatan pembangunan yang dilakukan saat ini, dimana pembanguan dibanyak negara, termasuk di Indonesia lebih menekan pada pertumbuhan ekonomi ansich, belum mengintegrasikan kepentingan lingkungan. Pembangunan berkelanjutan dimaknai sebagai pembangunan yang mengintegrasikan kepentingan lingkungan tidak semata pertumbuhan ekonomi. Pembangunan berkelanjutan harus diletakkan sebagai kebutuhan dan aspirasi manusia kini dan masa depan. “Tak ada pertumbuhan ekonomi di atas lingkungan hidup yang rusak” tegas kami berdua siang itu.
Lantas dimana keterkaitannya pemilu inklusif itu dengan pembangunan berkelanjutan. Mpo Alin begitu bu Khalisa sering dipanggil dari Greenpeace menarasikannya dengan baik “Bahwa politik elektrolal di Indonesia memang sudah berjalan dengan baik, siklus lima tahun berjalan dengan baik, namun belum menjawab isu-isu krusial yang dialami masyarakat rentan, misal soal climate krisis, bencana iklim ini didepan mata, dampak turunan sangat besar, terlebih masyarakat rentan, seperti nelayan, masyarakat adat, petani dan perempuan. Dan Pemilu inklusif harusnya dimaknai bukan hanya sebatas pelibatan masyarakat marjinal-rentan dalam proses elektoral semata, namun jauh dari itu bagaimana nasib mereka dalam menghadapi bencana iklim tersebut, jadi politik elektoral itu tidak boleh dipisahkan dengan politik lingkungan. Isu lingkungan, memang belum menjadi isu prioritas, dikalahkan isu ekonomi dan isu politik identitas dalam demokrasi kita. Dekmorasi kita dalam cenkraman oligarkis yang begitu kuat, dan ini menyebabkan demokrasi kita masih dinilai demokrasi cacat. Produk elektoral kita menghasilkan sesungguhnya elit politik yang jauh dari rakyat. Hampir 50 persen perlemen kita diisi pebinis dan menjadi aktor perusak sumber daya alam penyebab bencana iklim”tegasnya.
Green Election
Pelaksanaan elektoral atau Pemilu memiliki makna penting dalam mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Pemilu adalah wawana demi mewujudkan keadilan dan kemakmuran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi dalam politik elektoral bukan samata bagaimana meningkatkan partisipasi rakyat namun juga harus dimaknai bagaimana pemenuhan hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang sehat dan baik, sebagaimana amanah konstitusi UUD 45 pasal 28 H. Namun dalam diskusi itu saya menyebut bahwa pemilu kita belum ramah lingkungan. Ada 4 alasan mengapa pemilu saya sebut belum ramah lingkungan. Pertama soal material yang digunakan. Dalam pemilu kita selama ini penggunaan plastik dan kertas begitu berlebihan. Penelitian Herwyn Malonda (anggota Bawaslu RI) pada Pemilu 2019 menyebut TPS dikota Manado menghabiskan sebanyak 6.676 rim kertas setara dengan 6.676 Pohon berumur 5 tahun. Karena menurut Prof.Sudjarwadi (peneliti UGM),1 Rim kertas setara dengan 1 pohon berumur 5 tahun. Itu baru TPS di Manado bagaimana bila itu dikalikan dengan seluruh TPS yang ada di Indonesia,berapa juta rim kertas yang digunakan dan berapa juta pohon harus dihabiskan. Regulasi terkait dengan pembatasan penggunaan kertas dan plastik dalam Pemilu “memang” belum ada. Dan melihat postur anggaran yang diajukan penyelenggara pemilu, kelihatannya Pemilu 2024 masih belum ramah lingkungan, material yang digunakan masih cenderung sama dan boros. Era digitalisai saat ini, seharusnya sudah dimanfaatkan untuk lebih mengefisienkan penggunaan kertas. Kedua soal transportasi yang digunakan, baik oleh penyelenggara maupun peserta pemilu, juga menghasilkan buangan CO2 yang begitu besar. Ketiga asupan konsumsi energi tentu juga meningkat seiring meningkatnya kebutuhan transportasi pada saat pemilu baik oleh penyelenggara maupun oleh peserta pemilu dan keempat potensi sampah pemilu, berupa bahan kampanye dan alat peraga kampanye serta sampah logistik pemilu lainnya selalu menimbulkan problem lingkungan. Peningkatan volume sampah pemilu demikian nyata hadir dalam setiap hajatan pemilu dan itu selalu menjadi problem dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dan Pemilu kita, keempat aspek tersebut belum dikelola secara bijak dan benar.
Green Election, Utopiskah?. begitu judul presentase saya dalam diskusi itu. Tanda tanya dalam kata utopis, sengaja saya berikan sebagai bentuk optimis saya, bahwa masih ada asa green election atau pemilu ramah lingkungan di negeri ini, bila keempat aspek yang saya sebut di atas sudah menjadi bagian dalam setiap kebijakan elektoral di negeri ini. Namun bila tidak, maka green election suatu utopis tanpa tanda tanya.(Dr. H. Kasman Jaya Saad, M.Si, Dosen Universitas Alkhairaat Palu)