Tujuh ketua umum dan sekjen parpol serta Jokowi bertemu di Istana, dan para elit parpol itu membanjiri Jokowi dengan puja-puji. Bahwa mereka menilai Jokowi berhasil dalam penanganan situasi pandemi, sah-sah saja. Tapi ketika itu dilakukan dalam sebuah pertemuan di Istana, maka beda lagi tafsirannya.
Di Istana, Jokowi adalah Presiden. Presiden bagi semua pihak dan semua parpol. Termasuk kalangan dan parpol yang mengambil sikap oposisi terhadap pemerintah. Dengan statusnya sebagai presiden bagi semua tersebut, maka seharusnya bukan hanya parpol pendukung saja yang semestinya diundang ke Istana. Parpol oposisi pun seharusnya diundang. Konsekuensinya, sebagai presiden, Jokowi sepantasnya tidak hanya menyediakan waktu secara khusus bagi puja-puji. Waktu khusus bagi kritik tajam pun sewajarnya diadakan pula, dan Jokowi–selaku presiden juga bagi kalangan oposisi–pun harus mau menyimaknya. Lakukan itu di Istana.
Lain hal sekiranya pertemuan perayaan itu diselenggarakan di kedai kopi, di penginapan, atau di lapangan terbuka. Bolehlah yang diundang hanya parpol pendukung saja.
Alhasil, saya memandang pertemuan dan pesta puja-puji di Istana itu sebagai wujud tidak proporsionalnya para elit koalisi dalam memosisikan diri. Mereka abai terhadap siapa diri mereka dan peran apa yang seharusnya mereka mainkan di kantor tempat kepala negara sekaligus kepala pemerintahan bekerja.
Etika bertindak-tanduk selaku tokoh-tokoh pemimpin politik sudah tercecer sedemikian rupa. Pertemuan di Istana, tempat Jokowi menyambut para tamu koalisi dengan kapasitas sebagai presiden, seolah menguatkan simpulan banyak pihak bahwa oligarki politik semakin menjadi-jadi di negeri ini.
Lantas, saya pun bertanya-tanya, show off “kesolidan” antara Presiden Jokowi dan sebatas para parpol pendukungnya itu ditujukan kepada siapa? Tidak relevan jika ditujukan ke parpol oposisi, mengingat hanya ada dua parpol yang berseberangan dengan penguasa. Ditambah DPD RI yang terus berikhtiar merepresentasikan rakyat dengan sesungguhnya, jumlah mereka tetap kalah dibandingkan para parpol yang hadir di Istana.
Ataukah pertemuan penuh puja-puji di Istana merupakan tanggapan balik atas kian maraknya mural di ruang publik? Atau jangan-jangan itu cara mengompensasikan peran buzzer yang sudah terbaca permainannya dan tak lagi efektif memengaruhi masyarakat?
Sementara pertanyaan-pertanyaan itu tak berhasil saya jawab, saya justru terkenang masa menjelang tumbangnya Orde Baru. Sekian kelompok menemui Presiden Soeharto dan mengklaim membawa pesan rakyat bahwa rakyat menginginkan Pak Harto menjabat sebagai presiden lagi. Angin sejuk bagi penguasa. Status quo berkelanjutan, seiring dilantiknya Pak Harto sebagai Presiden untuk periode berikutnya. Tapi angin langsung berbalik arah. Ombak tsunami menggulung, kapal penguasa pun binasa.
Lesson learned bagi kita semua: kubu status quo tidak akan pernah menang melawan kubu progresif. Mereka yang ingin memanjang-manjangkan masa kekuasaan, termasuk lewat pengunduran jadwal pemilu dan perpanjangan periode jabatan presiden, pada akhirnya akan ditaklukkan oleh mereka yang ingin Indonesia dipimpin oleh sosok yang lebih kompeten dan berwatak negarawan.
Parpol oposisi tinggal dua. Tapi jangan sepelekan apalagi lupakan Fraksi DPD di MPR RI. Fraksi DPD berada pada posisi progresif dengan fatsoen politik yang berporos pada etos kenegaraan-kebangsaan, bukan kekuasaan.
Saya mengamini perkataan bijak. Bahwa, sebaik-baiknya teman adalah dia yang membawakan cermin bagimu, dan seindah-indahnya bingkisan adalah kritik yang dibingkiskan untukmu. (Dr. Abdul Rachman Thaha, SH, MH, anggota DPD RI)