Merawat Tradisi Toniasa, Kearifan Lokal Suku Tajio

  • Whatsapp
Anak-anak yang mengenakan pakaian adat digotong mengelilingi rumah sebagai bagian dari prosesi toniasa.(ist)

Sebanyak 50 anak-anak dari sejumlah desa di Kecamatan Tinombo Selatan, Kabupaten Parigi Moutong mengikuti tradisi toniasa. Sebuah tradisi yang dahulu digelar oleh kalangan bangsawan/raja di Kerajaan Moutong, Tinombo dan Kasimbar. Tujuannya agar anak-anak yang ikut tradisi itu kelak bisa tumbuh jadi anak yang sholeh, cerdas dan menjadi pemimpin. Tradisi ini nyaris punah akibat tergerus jaman modern.

Tradisi toniasa yang dalam bahasa Tajio berarti orang yang dikukuhkan ini berlangsung di rumah Abdul Manan, salah satu keturunan bangsawan di Desa Maninili, Kecamatan Tinombo Selatan. Prosesi tradisi ini berlangsung mulai pukul 14.00 waktu setempat dan dipimpin oleh seorang tetua adat bernama Andi Paada B Karama. Dimulai dengan membawa puluhan anak-anak tersebut jalan kaki menuju sebuah sungai untuk dimandikan. Letak sungai hanya sekitar 250 meter dari pusat kegiatan.

Pilihan Redaksi :  AI vs Manusia : Tantangan, Kolaborasi atau Ancaman?

Usai dimandikan, puluhan anak-anak baik laki-laki maupun perempuan yang didampingi orang tuanya kemudian kembali ke tempat prosesi tradisi untuk mengenakan pakaian tradisional serba kuning. Warna tersebut merupakan symbol kerajaan di Sulawesi Tengah. Di depan rumah juga terpasang dua bendera berwarna kuning yang disebut sebagai ula-ula, penanda kalau pemilik rumah adalah keturunan bangsawan.

Setelah semuanya siap dengan pakaian adat serba kuning, satu per satu anak-anak tersebut kemudian diarahkan turun tangga dan menginjak kepala kerbau yang sudah menempel di tanah. Syaratnya memang setiap anak harus menginjak kepala kerbau tersebut sebelum kemudian digendong mengelilingi rumah sebanyak tujuh kali. Mirip dengan prosesi tawaf yang dilakukan umat islam yang menunaikan ibadah haji dan umroh saat mengelilingi Baitullah.

Pilihan Redaksi :  AI vs Manusia : Tantangan, Kolaborasi atau Ancaman?

Mengakhiri prosesi tradisi tersebut, anak-anak tadi kemudian naik kembali ke panggung untuk mendapat pengukuhan dan tetua adat. Dalam prosesi ini, diiringi dengan melantunkan zikir dan sholawat sebelum diakhiri dengan doa. Yah, tradisi ini memang dikaitkan dengan pengaruh islam yang masuk ke Tanah Kasimbar, Tinombo dan Moutong kala itu.

Tetua Adat, Andi Paada B Karama (65) mengatakan toniasa ini merupakan tradisi yang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat di Kecamatan Ampibabo, Kasimbar, Tinombo dan Moutong atau dikenal di wilayah Pantai Timur. Hanya saja, kata dia, tradisi ini sudah jarang digelar sehingga nyaris terlupakan. Yah, tradisi ini sebenarnya sudah lama. Hanya saja jarang dilakukan karena tidak sembarang orang yang melakukan dan butuh persiapan khusus.

Pilihan Redaksi :  AI vs Manusia : Tantangan, Kolaborasi atau Ancaman?

Sementara itu, pelaksana kegiatan, Abdul Manan mengatakan tujuan digelarnya kembali tradisi toniasa adalah untuk melestarikan budaya tersebut agar tidak punah. Disebutkan, butuh waktu hingga sepuluh tahun baru bisa menggelar kembali tradisi dari leluhurnya. Sebagai keturunan bangsawan, Abdul Manan yang juga pejabat di Pemkab Parigi Moutong ini punya tanggung jawab moril untuk melestarikan warisan leluhur tersebut.

Ditambahkan, salah satu syarat yang menunjukkan jika yang melaksanakan hajatan adalah keturunan bangsawan yakni dengan pemotongan hewan kerbau. Kepala hewan yang sudah tergolong langka ini, dijadikan sebagai syarat dalam prosesi tradisi.(Syamsuddin, S.S, M.Si, Dosen Universitas Alkhairaat Palu)

Pos terkait