Hingga Mei 2023, Tercatat 194 Kasus Kekerasan Anak dan Perempuan di Sulteng

  • Whatsapp
Kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di Sulawesi Tengah cenderung tinggi selama tahun 2023.(illustrasi)

PALU – Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan satu masalah yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Pasalnya, berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) hingga Mei 2023 ini, jumlah korban kekerasan di Provinsi Sulawesi Tengah mencapai 194 kasus.

Dimana, Kota Palu menjadi penyumbang tertinggi korban kekerasan dengan 38 kasus. Menyusul kedua dan ketiga masing-masing Kabupaten Buol 28 kasus, dan Kabupaten Sigi 24 kasus. Data tersebut menyakup bentuk kekerasan fisik, psikis, seksual, eksploitasi, trafficking, penelantaran, dan kekerasan lainnya.

Adapun rinciannya secara keseluruhan se-Sulawesi Tengah, berdasarkan bentuk kekerasan, kasus kekerasan psikologis menempati posisi paling banyak mencapai 102 kasus, sementara itu kasus kekerasan urutan kedua dan ketiga diantaranya masing-masing kekerasan seksual angka 100 kasus, dan kekerasan fisik 89 kasus.

Tinggi rendahnya kasus kekerasan tersebut berbanding lurus dengan tinggi rendahnya kesadaran masyarakat untuk melaporkan setiap peristiwa kekerasan yang dialami. Tingkat kesadaran masyarakat yang tinggi untuk melapor menjadikan tinggi pula kasus kekerasan yang terdata, begitupun sebaliknya.

Hal itu dikatakan oleh kepala Bidang Perlindungan Hak Perempuan dan Perlindungan Khusus Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Sulteng, Diana Adam Pattalau, kepada media ini, Rabu (14/6/2023) pagi. “Dalam kacamata saya, ada dua pandangan, yang pertama kenapa semakin tinggi kasus kekerasan karena masyarakat kini ada kemauan untuk melapor. Sebaliknya, kenapa kasus kekerasan rendah, kadang-kadang masyarakat tidak ingin melapor karena dianggap itu hal yang tabu untuk dilaporkan,” sebutnya.

Sementara itu, lanjutnya, dalam upaya pencegahan pihaknya gencar melakukan upaya-upaya preventif dengan memperkuat forum-forum desa yang telah dibentuk. “Yang kami lakukan dengan berbasis tingkat desa kelurahan kami menguatkan forum-forum yang kami kembangkan, itu namanya ada forum Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) dan Forum Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM).  Dengan tujuan mencegah kekerasan dan mengedukasi kepada masyarakat dengan memperkenalkan dan mensosialisasikan tentang UU Perlindungan Anak,” jelasnya.

Sebutnya, keluarga memiliki fungsi pengawasan dan pemantauan yang amat penting terutama bagi anak di usia dini. Pola asuh yang baik dari kedua orang tua seyogyanya dimaksimalkan dalam proses perkembangannya menuju dewasa. “Dalam kelangsungan tumbuh kembangnya, diberikan langsung kebutuhan oleh orang tuanya, memanfaatkan forum-forum anak misalnya, dan menginstruksikan kepada anak agar dapat meluangkan waktunya untuk kegiatan-kegiatan yang positif,” ujarnya.

Sedangkan untuk anak sendiri, sekiranya perlu memahami setiap kondisi yang bisa berpotensi munculnya ancaman kekerasan. “Bagaimana anak itu tau cara memback up diri bahwa kekerasan itu ada dimana-mana, jadi jangan berikan peluang. Kadang orang tidak punya niat, tapi karena berada di wilayah rentan, misalnya disitu ada laki-laki semua dia memakai baju yang agak minum-minum, itu bisa saja menjadi pemicu,” jelas Dian.

Ia mengimbau masyarakat, agar peka dan memiliki jiwa sosial yang tinggi dalam turut bersama mengantisipasi tindakan kekerasan tersebut. Menurutnya, dengan adanya UU Perlindungan Saksi dan Korban saat kini masyarakat tak perlu khawatir untuk berpartisipasi melaporkan tindakan kekerasan dimaksud bilamana turut mengetahuinya. “Kita harus bantu mencegah itu tidak terjadi, jangan takut untuk melapor. Justru ketika kita membiarkan saja hal-hal itu terjadi, jelas saja kita dengan sengaja membiarkan pelaku,” pungkasnya.(SCW)

Pos terkait