PALU – Pasca bencana alam yang melanda wilayah Pasigala (Palu-Sigi-donggala) di tahun 2018 silam, Kelurahan Balaroa menjadi salah satu wilayah terdampak bencana likuifaksi terparah yang mana mengakibatkan sekiranya 900 rumah amblas. Pasca bencana, di tahun 2019 Pemerintah Kota Palu kemudian mulai membangun Hunian Tetap (Huntap) yang diperuntukan bagi masyarakat penyintas yang sebelumnya tinggal di lokasi likuifaksi Balaroa.
Namun, pasalnya, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peserta Sekolah Anti Korupsi (SAKTI) Perempuan Palu yang merupakan binaan Indonesia Corruption Watch (ICW), mendapati sekiranya masih banyak masalah-masalah mendasar lainnya, seperti sulitnya akses air bersih di lokasi Huntap tersebut yang mana telah dihuni selama kurang lebih 3 (tiga) tahun, namun pemenuhan hak atas air bersih belum juga terpenuhi.
Sedianya, Pemerintah Kota Palu dalam dokumen Rencana Aksi Pemindahan Hunian Tetap Satelit Balaroa yang diterbitkan 2021 lalu menyebutkan, bahwa sekiranya pihaknya tengah mengupayakan penyediaan air bersih melalui akses sumber air yang berasal dari sungai Lewara, kab. Sigi, yang mana kini masih dalam tahapan pembangunan Sistem Instalasi Pengolahan Air (IPA) Di Huntap Duyu yang nantinya menjadi penyalur air bersih melalui pipa menuju Huntap Balaroa.
Akan tetapi, sembari menunggu proyek air bersih tersebut selesai, SAKTI Perempuan Palu turut memikirkan kiranya solusi apa yang bisa dilakukan oleh Pemerintah bagi warga Huntap Balaroa agar dapat memenuhi kebutuhan air bersih yang sangat penting bagi kehidupan sehari-hari.
Bahkan, pihaknya mengaku intens melakukan penelitian sebagai rencana tindak lanjut kegiatannya, yang sekiranya berlangsung sejak awal Januari hingga Maret 2023 ini. Mengetahui bahwa semua Huntap yang ada baik di Kota Palu maupun Sigi mengalami krisis air, akhirnya mereka mengambil Huntap Balaroa sebagai sampel penelitian.
Dikonfirmasi, Nur Mentari Aprilia Selaku salah satu peserta SAKTI Perempuan Palu mengatakan bahwa inisiasi penelitian tersebut diawali dengan adanya dialog publik antara warga dan Pemerintah kota Palu beserta dinas-dinas terkait, sehingga membuat pihaknya tergerak untuk bagaimana kemudian bisa memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Kota Palu terkait alternatif upaya pemenuhan air bersih. “Kami kemudian membuat Fact Sheet, disitu ada permasalahan-permasalahan kemudian ada rekomendasi terkait air, kira-kira kalau mengunggu aliran Sungai Lewara yang akan selesai antara bulan 7 sampai 9, apa kemudian alternatif yang bisa dikasih Pemerintah untuk akses air bersih Huntap Balaroa,” terangnya kepada MediaSulawesi.id, Senin (20/3/2023) siang.
Lebih lanjut, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh pihaknya, mendapati bahwa secara swadaya warga Huntap Balaroa kemudian membuat bak penampungan berukuran 2×2 meter untuk menampung air yang berlebih dari bak penampungan air Desa Daengguni. Desa Daengguni merupakan dewa yang masuk wilayah Kabupaten Sigi yang lokasinya berbatasan dengan Huntap Balaroa.
Air yang disebut air “buangan” didapatkan hanya apabila bak penampungan air Desa Daengguni penuh atau berlebih, yang kemudian ditampung dan disalurkan secara bergiliran sesuai blok.
Mirisnya, tak hanya sekedar sulit air, warga bahkan harus membayar iuran perbulan sebesar Rp20 ribu sampai Rp40 ribu, yang didasarkan dengan jarak jauhnya pipa yang disalurkan ke rumah warga. Dimana iuran tersebut dibayarkan kepada Pemerintah Desa Daengguni sebagai pihak yang telah membangun penyaluran air tersebut.
Atas hal tersebut, SAKTI Perempuan Palu memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Kota Palu, agar kiranya dapat lebih berperan dalam penyediaan air bersih kepada warga Huntap Balaroa, mengingat pembangunan penyaluran air bersih dari Sungai Lewara yang belum selesai. Dan juga merekomendasikan untuk memberikan bantuan air bersih sementara waktu hingga proyek penyaluran air dari Sungai Lewara rampung.(SCW)