SUKU Pamona sebagai suku asli dan dominan yang mendiami wilayah Kabupaten Poso ternyata kaya akan budaya dan warisan leluhur. Sayangnya, sebagian dari tradisi itu sudah hilang dan nyaris punah. Salah satunya adalah tradisi mosango. Sebuah tradisi menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap yang disebut sango. Sebuah alat menyerupai kurungan kecil yang terbuat dari lidi enau setinggi 30 hingga 50 centimeter.
Tradisi ini dilakukan turun temurun oleh masyarakat yang berdiam di sekitar Danau Poso. Diperkirakan sudah berlangsung sejak ratusan tahun silam setiap bulan Oktober. Untuk menjaga kelestarian tradisi leluhur ini, pemerintah kabupaten Poso melalui Festival Danau Poso menjadikan mosango sebagai bagian dari rangkaian festival tertua tersebut. Jumat (21/10/2022) sore, tradisi ini digelar di Danau Poso dengan melibatkan puluhan warga.
Dengan berbekal sango, puluhan lelaki yang terdiri dari orang tua, dewasa tersebut berlomba-lomba menangkap ikan di dalam areal yang sudah dipagari jaring berukuran 20 x 20 meter. Tapi, jika mengacu pada konsep leluhur sebenarnya tidak menggunakan pembatas tapi di area bebas dan saat air danau sedang surut. Selama satu jam lebih berburu ikan, sebagian mereka yang beruntung berhasil mendapatkan ikan jenis mujair Dengan wajah sumringah, mereka menenteng ikan hasil tangkapannya ke tepi danau.
Ketua Adat Suku Pamona, Hajai Ancura kepada media ini menuturkan jika tradisi mosango sesungguhnya sudah nyaris terlupakan oleh masyarakat Suku Pamona khususnya yang berdiam di sekitar Danau Poso. Istilah mosango ini awalnya lahir dari istilah motila uwe (Berbagi Air). Maknanya, saling berbagi dengan sesama. Warga saling berbagi dengan apa yang mereka dapatkan. Jadi saling berbagi rejeki dan tanpa rasa iri atau cemburu kepada orang yang mendapatkan lebih. ‘’Kalau kita tidak berhasil mendapatkan tangkapan, tak perlu iri atau kecewa. Tapi nanti akan kebagian rejeki dari mereka yang berhasil,’’urainya.
Yang menarik dari penjelasan Hajai, sango yang bahan utamanya dari bambu ini ternyata mengandung makna filosofis. Dimana ruas dan belahan bambuu dalam setiap sango itu jumlahnya ganjil dan tidak boleh genap. Kenapa harus ganjil? ‘’ Karena dalam keyakinan masyarakat, angka genap itu adalah milik Sang Khalik. ‘’Sebagai manusia itu kita punya kekurangan dan yang menggenapkan itu adalah Tuhan,’’terangnya lelaki berusia 56 tahun ini.
Terlepas dari makna filosofis tadi, bagi Hajai, tradisi mosango sebagian wujud kearifan lokal yang sarat dengan nilai sosial sehingga harus tetap dipertahankan. Dari mosango, masyarakat Suku Pamona diajarkan untuk saling berbagi, saling bekerjasama dan menjalin silaturahmi. Nilai-nilai itulah yang akan memperkokoh tali persaudaraan sesama. (syamsuddin)