Besok, 17 Agustus momentum penting bagi negeri bunda pertiwi. Merdeka dari segala bentuk penjajahan (kolonialisme) yang mendera begitu lama. Kemerdekaan mengantarkan bunda pertiwi membangun cita-cita apik yakni negeri yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dan tujuan mulia untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh anak negeri.
Menjelang HUT kemerdekaan yang ke 77 bunda pertiwi, kita disuguhi peristiwa kurang terpuji yang dilakukan beberapa personil lembaga keamanan negeri, yang bukan saja menyita energi banyak anak negeri ini, namun juga telah menciptakan penasaran tak terkira, tentang motif perilaku barbar itu. Peristiwa ini juga seakan menghadirkan realitas negeri bunda pertiwi yang dipenuhi masih begitu banyak kanker krisis perilaku yang menyerang segala jaringan tubuh negeri yang mencengkeram begitu dalam. Negeri bunda terkesan “gagal” menunaikan kewajibannya untuk “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”. Wujud tujuan baik itu masih tercegat perilaku koruptif, pragmatisme, hedonisme dan individualisme para elit negeri. Mereka juga tidak segan saling menghianati dan saling menegasikan. Sumpah jabatan sebagai wujud pertanggung jawaban atas nama negeri dan Tuhan Yang Maha Esa, disalahgunakan, hanya sekedar formalitas, karena ketamakan dan hasrat meraih kehormatan rendah begitu merajalela. Dan hukum di negeri bunda juga lumpuh tak kuasa meredam penyalahgunaan kekuasaan. Hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas,begitu kata banyak orang di negeri ini. Keadilan menjadi barang mahal, tak terjangkau oleh kebanyakan mereka yang fakir.
Pada basis materi, kekayaan sumber daya alam begitu melimpah, dan dikenal seantero jagat raya. Indah permai dan menggoda, laksana samrud di khatulistiwa. Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam perut bumi sebagai pokok kemakmuran rakyat, yang seharusnya dikuasai untuk dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran bagi anak negeri pada umumnya, menjelma dan dikuasai hanya segelintir orang-seorang bagi sebesar-besar kemakmuran sekelompok kecil orang dan bahkan bukan untuk anak negeri. Dalam proses penguasaan sumber daya alam itu tak peduli akan keselamatan ekologis. Karena yang hadir adalah bagaimana mengeksploitasi, merampas kekayaan yang ada di perut bumi negeri semata, dengan pikir keuntungan sebesar-besarnya, karena yang terlibat tak memiliki kesadaran ekologis. Oh, Miris.
Pada ranah politik, sebagai agen perantara dalam perubahan sistem sosial anak negeri, terlihat secara teknik mengalami kemajuan, namun secara etik mengalami stagnan, bahkan kemunduran. Hal itu terbaca dari banyak perilaku elit politik yang sering menghalalkan segala cara untuk meraih kepentingan politik-kekuasaan. Kondisi tersebut diperkuat dengan desain institusi demokrasi negeri lebih menekankan pada kekuatan alokatif-baca modal, ketimbang kekuatan otoritatif-baca kapasitas. Dan situasi politik negeri kian memburuk karena kuatnya penetrasi neoliberalisme dalam mekanisme perebutan kekuasaan dalam Pemilu dan Pemilukada. Hal tersebut memaksa peraih kekuasaan itu hanya kepada pemilik pemodal, terkadang tanpa kapasitas dan integritas. Dalam kondisi keterpilihan seperti itu, maka tak heran bila banyak urusan negeri terabaikan. Cita-cita keadilan sosial makin jauh dari das sollen, karena makin melebar kesenjangan sosial. Sekelompok anak negeri begitu muda menikmati berbagai fasilitas dan sekelompok anak negeri lainnya begitu sulit mendapat akses dasar sekalipun. Perhelatan demokrasi yang melahirkan kekuasaan, datang dan hilang silih berganti membuai mimpi, tetapi nasib anak negeri-rakyat itu tetap sama, kekal menderita, kelam dan tak menikmati manisnya kemerdekaan seperti yang dijanjikan. Dengan kata lain yang terjadi adalah; das sein sangat jauh dari das sollen.
Dalam kegamangan politik seperti itu, negeri bunda sudah memasuki tahapan pendaftaran partai politik menjelang pemilu serentak 2024, dan sebanyak 24 partai politik yang dinyatakan lengkap berkas oleh KPU. Perhelatan politik lima tahunan yang bernama Pemilu dan Pilkada di negeri bunda semestinya menghadirkan partisipasi, kepuasan dan daulat rakyat, namun justru sebaliknya yang hadir adalah ketidaksertaan dan ketidakpuasan. Dan ujung “buruk” semua itu menyebabkan anak negeri makin terpolarisasi dan makin longgarnya kohesi sosial dan munculnya disharmoni yang mengarah kepada konflik sosial serta munculnya kembali egosentrisme dan primordialisme (baik keagamaan maupun kesukuan). Keadaan demikian dapat mengantarkan negeri bunda ketubir jurang perpecahan dan disharmoni bangsa yang tak terkira.
Akhir kalam, diusia yang ke 77 bunda pertiwi, merdeka tidak cukup hanya pekikan dengan berbagai aksesoris perayaannya, tetapi juga harus menjadi praksis dalam tindakan yang memiliki kekuataan riil untuk mendobrak perilaku kemunafikan dan ketidakadilan yang kian menghujat bumi pertiwi. Merdeka itu ketika keadilan sosial hadir bagi seluruh anak bunda pertiwi. Merdeka bukan sekedar kata, namun rasa yang harus dinikmati secara bersama. Bukan hanya kamu, tetapi kita semua. Merdeka!!!.(Dr. H. Kasman Jaya Saad, M.Si, Dosen Universitas Alkhairaat Palu)