Lagu Dere, berjudul “Berisik”, bukan hanya menarik dan enak dinikmati, namun bagi saya menarik juga disimak liriknya, penuh makna. Lagu Dere, yang diciptakan bersama Muhammad Tulus dirilis sudah cukup lama, 28 Juni 2018 ini, menemani perjalanan mudik lebaran saya kemarin, berulang kali saya dengar, sayapun terkesima dengan liriknya, terlebih mengaitkan perilaku anak negeri di era bernama reformasi saat ini, di era politik pemilihan langsung negeri ini, penuh manusia berisik. Simak liriknya;
Oh, manusia berisik
Bermulut satu dan bicaranya lantang
Lidah tertutup gigi, tapi bagai terpampang
Oh, manusia berisik
Berakal budi, tapi terkadang lupa
Kalau hidup di dunia hanya bertamu saja
Bicaralah secukupnya
Tak semua harus terucap, hmm
Oh, manusia berisik
Punya hati, tapi tak hati-hati
Beralaskan logika
Sering merasa benar
Bicaralah secukupnya
Tak semua harus terucap, hmm
Aku manusia berisik
Kutulis lagu ini bukan karena aku
Merasa paling benar, tapi karena kurasa
Kadang ku juga lupa ‘tuk bicara secukupnya
Lirik ini seperti menggambarkan kondisi kekekinian, banyak bicara, namun juga tak mau mendengar apalagi kerja. Banyak mengkritik, tapi tak punya alas data yang benar. Bicaranya lantang, namun tak punya argumentasi, terus menghujat, mengumbar kebencian, namun tak ada solusi. Bermulut satu dan bicara lantang, lidah tertutup gigi, tapi bagai terpampang.
Oh manusia berisik. Berakal budi, tapi terkadang lupa kalau hidup hanya bertamu saja. Itu sebab bicaralah secukupnya, tak semua harus terucap. Kalimat lirik lagu ini menghentak, karena pijakan kita sering pada aras dunia politik yang mengumbar bicara lantang tak bertepi, yang kerap penuh kebohongan. Reality show di berbagai acara televisi dan sosial media begitu mudah disimak para elit politik di negeri ini mengumbar kata-kata manis, penuh retorika, yang ‘seakan’ menghibur namun tak berkesesuian dengan sikap dan perilaku mereka dalam realitas, penuh onak dan duri, yang sungguh memiluhkan. Mereka punya akal budi, namun lupa hidup hanya bertamu, artinya hidup ini hanya sebentar, tak lama, kita semua hanya pengendara di atas punggung usia kita masing-masing, digulung hari demi hari, bulan dan tahun tanpa terasa. Nafas kita terus berjalan seiring jalannya waktu, setia menuntun kita ke pintu akhir hayat kelak. Dalam pepata Jawa kuno disebutkan “bahwa hidup itu hanya sekedar mampir minum”. Dan meski hidup hanya sebentar, perlu dicamkan bahwa apa yang kita perbuat di dunia akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak..
Oh, manusia berisik. Punya hati tetapi tak hati-hati, beralaskan logika, sering merasa paling benar. Ini egois. Nyatanya, suka atau tidak, egoisme menjadi bagian dari budaya kita. Para pengumbar kata-kata, sering lupa bahwa kebenaran itu bukan milik pribadi, otoritas mereka an sich. Ada hak orang lain untuk menyampaikan kebenaran. Egoisme itu adalah tabiat buruk yang sama sekali tak layak diteladani. Merasa paling benar, merasa paling hebat dan sok kuasa, ketika berkuasa. Tipologi manusia egois, memiliki karakter buruk “senang melihat orang lain susah dan susah melihat orang lain senang”. Bahagianya adalah derita orang lain, apapun dilakukan untuk kuasa dan kesenangannya, tak peduli derita orang lain. Tak perlu menunjuk hidup, tipologi manusia berisik seperti ini jamak ditemukan di aras politik lokal kita.
Oh, manusia berisik. Bicara secukupnya. Tak semua harus terucap. Dalam bahasa menarik Daoed Yusuf, mantan menteri pendidikan dan kebudayaan RI menyebut “Orang-orang yang pandai menyenangkan rakyat, bicaranya lantang tanpa memberikan apa yang rakyat benar-benar butuhkan. Mereka itu mendekati rakyat dengan mulut terbuka, bukan dengan pikiran dan hati terbuka”. Itu manusia berisik. Bicaranya lantang, namun hatinya terkunci.
Oh, manusia berisik. Kutulis artikel ini bukan karena aku merasa paling benar, tapi karena kurasa kadang saya juga lupa untuk bicara secukupnya. Dan semoga tulisan ini menjadi pengingat, bahwa kesantunan dan kebaikan dalam diri bukan ditentukan pada banyak kata-kata terucap, namun pada sikap dan perilaku yang istiqomah pada kebaikan. Menyatunya kata dan perbuatan, “Walk the talk”. Bicaralah secukupnya, tak semua harus terucap. Tegas dalam kata, teguh dalam perbuatan. Bagi sahabat yang terjun dipartai politik, memenuhi janji-janji yang terucap dalam kampanye adalah mutlak untuk ditunaikan. Jangan menjadi manusia berisik. Bermulut satu dan bicaranya lantang, lidah tertutup gigi, tapi bagai terpampang. Punya hati, tapi tak hati-hati. Beralaskan logika, sering merasa benar. Berakal budi, tapi terkadang lupa kalau hidup di dunia hanya bertamu saja. Ya, hanya sekedar mampir minum. Tabe, mari direnungkan…(Dr. H.Kasman Jaya Saad, M.Si, Dosen Universitas Alkhairaat Palu)