Ramadhan tiba, Ramadhan di rindu, bulan penuh makna dan berkah. Bulan diperintahkan kita untuk berpuasa wajib sebulan penuh. Perintah Tuhan itu, kegunaannya untuk kita, manusia. Bukan untuk Tuhan, karena Tuhan sudah terlalu Maha Besar untuk urusan sepele seperti manusia. Puasa adalah seni mengelola rasa untuk mengasa asa nurani pada manusia. Pekerjaan menahan tumpah ruahnya keinginan, atau usaha mengendalikan kebiasaan melampiaskan. Pada tesis yang lebih jauh, puasa adalah usaha konstruktif untuk membangun relasi sosial, dan membuat hidup lebih bermakna dan berarti.
Puasa adalah sebuah metode untuk memelihara asupan yang baik bagi pikiran dengan informasi positif dan tindakan bermanfaat. Sebab hidup adalah apa yang dibuat oleh pikiran. Pepatah bijak pernah mengatakan bahwa kita bukan apa yang kita pikir diri kita, melainkan apa yang kita pikir, itu diri kita. Sebuah pernyataan filososif yang mengandung makna mendalam. Yang menitipkan pesan bijak kepada kita bahwa sesungguhnya kitalah yang menjadi raja atas diri kita sendiri. Pikiran kita yang memegang kendali mau dibawa ke mana hidup kita. Lalu, puasa datang untuk mengosongkon pikiran dari kotoran yang terhimpun selama sebelas bulan terakhir. Untuk kembali menjadikan pikiran kita raja atas diri kita, bukan raja atas nafsu kita. Agar pikiran menghasilkan kerangka yang jernih dalam mengelola informasi yang masuk harus didukung dengan hati yang bersih. Dan lagi-lagi, puasa akan menghadirkan hati yang bersih dan terawat. Hati yang akan melahirkan sifat-sifat terpuji yang menjadi trade mark-nya perbuatan-perbuatan yang muncul.
Kebahagiaan, kesedihan, rasa sakit, amarah, dimulai dari pikiran kita sendiri. Bukan hubungan pekerjaan, bukan uang, bukan pula kekuasaan yang membangun itu semua. Tapi diri sendiri yang menciptakan sensasi itu. Ada yang tetap bisa menjalani hidup dengan penuh suka cita di tengah keterbatasannya. Ada pula yang hidupnya begitu tersiksa dikejar-kejar rasa bersalah meski memiliki segalanya. Maka, semua yang berasal dari luar diri kita hanyalah perantara untuk menjadikan hidup kita menjadi bermakna dan meninggalkan kesan terbaik bagi diri sendiri, orang lain, dan kehidupan.
Seninya adalah bagaimana kita bisa mengelola diri kita dengan arif dan bijaksana. Menjadikan dunia hanya sebagai wadah, kehidupan yang sementara sebagai substansinya, usia sepanjang hayat menjadi metodenya, dan targetnya adalah jangkauan transenden yang disebut akhirat.
Poinnya adalah bagaimana kita mampu untuk mendamaikan pikiran dan hati agar berjalan beriringan. Sehingga kita bisa mengendalikan akal untuk berpikir secara sehat dan hati dapat menjadi tempat bersemayanya intuisi (akhlak) yang memunculkan tindakan-tindakan sukarela, tindakan yang benar dan bermakna. Jika diri tidak dibina dengan pembinaan yang proporsional, maka kita hanya akan tenggelam dalam kesenangan semu dan keinginan tak terbatas. Kehadiran kita hanya akan menjadi benalu di setiap tempat dan sesama.
Diri yang terkelola dengan benar adalah representasi dari lingkungan kita berada. Maka, jadikan keluarga sebagai lingkungan yang nyaman, bergaullah dengan teman-teman yang menghadirkan kebaikan di dalamnya, bergurulah dengan mentor (guru) yang tepat, pelajari hal-hal yang sesuai passion. Dengan demikian akan melahirkan informasi-informasi yang kemudian direspon oleh pikiran dan disampaikan kepada tubuh sebagai eksekutornya.
Semoga dengan Puasa kita makin pandai dalam memilah dan memilih. Seperti halnya dalam berbuka, tidak semua makanan yang terhidang “harus” disantap habis. Dan, tidak semua makanan layak menjadi teman berbuka. Ada skala prioritas, menyesuaikan kondisi finansial, kesehatan, dan juga kondisi perut. Dengan begitu, kita sebagai manusia akan memilah dan memilih segala infromasi yang hadir disekitar, tidak langsung disantap, apalagi langsung di share.
Puasa juga membangun mental baja, dimulai dari bangun sahur di sepertiga malam. Karena kita pada dasarnya menyenangi nyenyak dan kenyang, tapi kita tidak diperkenankan melakukan itu sepuasnya. Puasa melatih manusia untuk menaklukkan kesenangannya. Puasa mengerem keinginan-keinginan “kesenangan” itu dari subuh hingga magrib. Puasa dapat mengantar kita mencapai titik yang memiliki kekuasaan sejati. Kekuasaan atas diri sendiri – kekuasaan atas pikiran, kekuasaan atas ketakutan, dan kekuasaan atas akal dan jiwa. Sebab tidak ada yang dapat membuat kita damai, kecuali diri kita sendiri. Diri yang di dalamnya terpatri pikiran dan hati bersih, karena telah terlatih mengerem “kesenangan semu” yang tak bertepi.Ramadhan tiba, selamat menjalankan ibadah puasa. Tabe…(Imad Kasman J Saad, Ketua KEMAPAS SULTENG di Jogyakarta)