Suatu hari, di bulan Maret ini, saya menyusuri kebun salah seorang petani di dataran Duyu Kota Palu. Pahlawan pangan, begitu saya menyebutnya, terduduk lesu, tatapannya kosong. Tomatnya berbunga, sebentar lagi memberinya buah. Namun itu tak membuatnya bahagia. Harga tomat di pasar terus merosot, menjadi penyebabnya. Namun sang pahlawan itu tetap bersahaja menahan derita dan nestapa yang terus mendera. Saya mencoba memahaminya. Itu sebab saya tak mengajaknya bicara soal prosesi pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara (IKN), yang menghadirkan para gubernur di seluruh negeri berikut tanah dan airnya “yang seolah membawa IKN itu ke masa magis dan mistis”, tidak juga soal balap MotoGP Mandalika yang begitu prestisius, apalagi soal wacana penundaan pemilu yang inkonstitusional itu. Tidak, saya tidak akan membebaninya dengan diskursus seperti itu, karena yang mereka butuh begitu sederhana; ada jaminan harga terhadap produksinya.
Melihat pentingnya perjuangan seorang petani dalam memajukan negeri ini, maka merekalah pahlawan bagi negeri ini. Saya menyebutnya pahlawan pangan bangsa ini. Profesi petani patut kita hormati dan hargai, dengan rasa yang menjunjung tinggi sebagai bentuk pengabdian diri. Seharusnya kita sadar bahwa pertanian adalah pondasi utama dalam mendorong pembangunan Indonesia. Tanpa pertanian bangsa ini tak akan bertumbuh ekonominya. Bung Hatta bahkan berpesan penting bahwa “Hidup matinya sebuah negeri, ada di tangan sektor pertanian negeri tersebut”
Itu sebab, dalam dekapan alam yang dipenuhi aroma bau pestisida sore itu, kami hanya mencoba memaknai bahasa bathinnya, meski merontah. “Kami tak paham soal makro dan mikro ekonomi, kenapa kalau kami panen harga terus anjlok, dan kenapa begitu harga produk pertanian naik lantas kami pun disalahkan, dan penguasa pun panik, lantas melakukan operasi pasar, seakan kami tak boleh mendapat hidup layak dengan harga yang baik, harga anjlok kami dibiarkan merana” ketusnya.
Kami mencoba menyalami relung hatinya yang paling dalam, bahwa mereka ”petani, pahlawan pangan itu”, hanya ingin ada keadilan soal harga. “Bila musin panen tiba, kami jangan hanya jadi obyek untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat dan pengganjal inflasi, kami juga perlu keadilan soal harga” bisiknya. “Adakah Mereka hirau dengan nasib kami yang dililit dengan berbagai keterbatasan dan berbagai kendala dalam melakukan usaha tani?. Saat ini kami menghadapi tekanan demikian kuat. Mulai makin mahalnya pupuk dan pestisida serta keterbatasan modal hingga minimnya teknologi hingga ketidakpastian harga” protesnya. “Soal semangat, jangan tanya, itu pasti kami punya, kami tindak pernah kehilangan semangat, kami mengerti bahwa di pundak kami banyak anak negeri menggantungkan hidupnya pada kami, karena dari kami pangan itu hadir. Semoga pemerintah dapat membuka mata dan membuka hatinya, untuk bisa melihat nasib kami saat ini, agar kami dapat lebih dimengerti” Pintanya kepada saya sore itu.
Ditengah himpitan hidup seperti itu, ternyata pola pemberdayaan “kebanyakan” masih dilakukan satu arah kepada petani, tidak partisipatoris, inisiatif dan pelaksananya masih sering dilakukan institusi terkait. Dan itu dilakukan secara luas dan seragam, berlabel program secara nasional yang bertumpu pada teknologi pertanian konvensional. “Model seperti itu membuat kami semakin tidak berdaya, tidak mandiri dan bahkan tidak percaya diri. Kami, jadinya sangat tergantung pada uluran tangan pihak-pihak lain terutama oleh pemerintah. Dengan ketergantungan tersebut, berbagai potensi, aktivitas, kreatifitas dan kearifan kami menjadi tersumbat, dan itu membuat kami tak pernah lepas dari masalah dan berbagai tekanan hidup menyertai usaha pertanian yang kami lakukan”keluhnya, dengan tatapan tajam penuh makna.
“Maaf bila kami banyak mengeluh dan protes” katanya dengan nada tegas. “Kami sadar, bahwa pemerintah selalu membangga-banggakan kami, dipuja diruang-ruang publik sebagai pelaku utama produk-produk pertanian di negeri yang dikenal sebagai negeri agraris ini, namun mereka sering lalai memperjuangkan nasib kami. Bahwa ada dari kami yang berhasil, lalu diklaim itu peran mereka yang punya kuasa, tentu tak sanggup kami membantanya. Namun faktanya, sampai sekarang banyak dari kami tetap diposisi marginal dan hidup memprihatinkan” Ungkapnya datar, menutup pembicaraannya denganku sore itu.
Akhirul kalam, tanpa petani kita tak akan bisa memperoleh pangan seperti sekarang ini. Mereka, para petani itu adalah pahlawan pangan bangsa ini. Olehnya mari entaskan hidup mereka, agar hidup kita menjadi berarti. Pak Tani, Bu Tani, terima kasih untuk segalanya. Thanks for everyting. Berkah untuk segala aktivitas bertaninya. Tabe. (Dr. H. Kasman Jaya Saad, M.Si, Dosen Universitas Alkhairaat Palu)