JAKARTA – Kebijakan pemerintah terkait surat keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) nomor 1 tahun 2022, tentang pencabutan hak guna usaha (HGU), diduga berpolemik dimana praktisi Hukum dan Pakar Hukum Kehutanan Dr Sadino SH MH angkat bicara serta menanggapinya melalui tulisannya.
Dalam tulisan. Sadino tertuang tulisannya, bahwa presiden telah menyampaikan pencabutan HGU seluas 34.448 hektar (ha) yang tidak dimanfaatkan secara baik dan ditelantarkan. “Kalau jumlahnya 34.448 ha masih kecil dan sangat wajar dan perlu adanya data yang lebih baik lagi. Saya kira siapapun mendukung jika HGU benar-benar ditelantarkan,” kata Sadino dalam keterangan tertulisnya, Rabu (12/1/2022).
Menurutnya, dalam SK Menteri LHK nomor 1 tahun 2022, tidak mencabut HGU karena bukan kewenangan Menteri LHK, tetapi mencabut SK pelepasan kawasan hutan yg diberikan oleh Menteri LHK.”SK Pelepasan kawasan hutan berarti statusnya bukan lagi sebagai kawasan hutan, sehingga menjadi kewenangan Menteri Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), terlebih jika sudah menjadi HGU yang bisa mencabut ya Menteri ATR/BPN apabila pemegang HGU tidak memanfaatkan dan mengelola secara baik,” rute Sadino.
Ia menjelaskan, SK pelepasan kawasan hutan itu merupakan persyaratan untuk memperoleh HGU jika lahan yang dimohonkan bersumber dari lahan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK), sehingga diperlukan SK Pelepasan Kawasan Hutan. “Namun pada saat sudah dikeluarkan SK pelepasan, berarti sudah bukan kawasan hutan lagi dan beralih kewenangannya kepada Menteri ATR/BPN dan pemerintah daerah,” jelas Sadino.
Dirinya menyebutkan, karena SK pelepasan kawasan hutan sudah lebur dalam HGU bersama dengan izin lokasi, maka yang mengikat dalam kegiatan perkebunan adalah hak atas tanah (HGU) dan tidak ada lagi mendasarkan SK pelepasan kawasan hutan maupun izin lokasi.
“Jika yang dicabut adalah SK pelepasan kawasan hutan bagi yang sudah HGU, ya salah alamat, karena SK pelepasan tersebut sudah mati secara hukum dan sudah menjadi HGU yang usianya dibatasi oleh waktu sesuai Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) nomor 5 tahun 1960,” sebut Sadino.
Kata Sadino, SK 01 Menteri LHK belum final dan tidak mencerminkan tata kelola pemerintahan yang baik, karena telah membuat SK (jika SK benar adanya), sebab antara judul SK dengan isinya sangat berbeda dengan isinya, sebagaimana tertuang dalam Amar Keputusan Menteri LHK 01.”Amar ke empat masih memerintahkan kepada Direktur Jendral (Dirjen) untuk melakukan pencabutan secara definitif.
SK 01 MenLHK tidak terkait dengan pencabutan HGU, karena sudah bukan wewenangnya dan SK pelepasan yang telah dikeluarkan dan diberikan kepada pemohon sudah bukan sebagai kawasan hutan, juga bukan wewenangnya lagi, karena kewenangan MenLHK diatur dalam pasal 4 UU nomor 41 tahun 1999, tentang kehutanan hanya untuk kawasan hutan. Jika ingin memasukkan lagi sebagai kawasan hutan ada prosedur tersendiri,” katanya.
Sadino mengungkapkan, HGU dilindungi oleh UUPA yang merupakan kewenangan Menteri ATR/BPN dan tata cara pencabutannya sesuai ketentuan di Kementrian ATR/BPN.
Sambung Sadino, HGU bukan izin, tetapi hak atas tanah yang dipergunakan untuk melakukan investasi dalam bidang perkebunan yang secara hukum tunduk pada UU Perkebunan, UUPA dan Undang-Undang nomor 25 tahun 2007, tentang penanaman modal menjamin untuk pelaksanaan investasi.”Hal itu sesuai pasal 4 ayat (2) huruf b. Pemerintah menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanaman modal sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan,” ungkapnya.(trans/egi)