Kekerasan masih menjadi PR yang belum terselesaikan dalam dunia pendidikan. Baru-baru ini salah seorang peserta Pendidikan Dasar (DIKSAR) Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA) FIS UNG meninggal dunia setelah mengikuti Pendidikan Dasar (DIKSAR). Kekerasan fisik juga terjadi dalam kegiatan MAPALA lainnya, adanya tamparan serta tendangan terhadap tubuh peserta. Selain MAPALA, kasus lainnya juga terjadi dari dunia kedokteran. Seorang calon dokter meninggal akibat bully (perundungan) dan beban kerja yang tidak manusiawi selama menjalankan program PPDS.
Bagaikan lingkaran setan, pemakluman terhadap kekerasan ini terjadi karena mereka mendapatkan contoh atau mengikuti tradisi/kebiasaan dari organisasi atau program yang mereka jalani. Senior menindas junior, kemudian junior yang mengalami penindasan tersebut menindas lagi junior dibawahnya dan seterusnya. Tradisi ini dirawat dan sangat sulit untuk diputuskan karena sudah menyatu dalam pendidikan.
Salah satu filsuf dalam pendidikan yang mampu menjelaskan tentang hubungan penindas dan kaum tertindas yaitu Paulo Freire. Dalam bukunya “Pendidikan Kaum Tertindas”, Freire menyatakan bahwa penindasan terjadi ketika individu melakukan suatu tindakan melampaui batas kemanusiaan. Bagi kaum penindas, yang dimaksud dengan manusia adalah diri mereka sendiri, sedangkan yang lainnya hanyalah benda. Hal ini berdampak terhadap perlakuan mereka terhadap sesama manusia lainnya, tindakan melampaui batas dan menghilangkan kemanusiaan.
Jika ditarik dalam konteks kekerasan dalam dunia pendidikan, mereka yang menerima kekerasan hanya dianggap sebagai sebuah benda yang bisa sesuka hati diperlakukan oleh oknum senior. Sedangkan dalam pandangan Friere, setiap manusia memiliki kemampuan berpikir dan memutuskan terhadap realitas yang dihadapi. Kondisi ideal yang ingin dicapai oleh pendidikan kaum tertindas yaitu, pertama penyadaran akan realitas. Kemudian kebebasan yang ingin diraih dimana tidak ada penindasan dan setiap individu diperlakukan secara manusiawi.
Menurut Freire, metode dialogis yang mengasumsikan setiap orang dianggap mampu berpikir dan memutuskan jalan hidupnya akan membawa pada kebebasan. Menaklukkan, adu domba, manipulasi dan sejenisnya adalah cara-cara kamu penindas. Sedangkan aksi dialogika yang diharapkan yaitu kerjasama, persatuan, mengorganisir diri dan sejenisnya diharapkan mampu menjadi jawaban dalam membebaskan kaum tertindas. Kebebasan yang dituju tidak akan diraih dengan cara-cara anti-dialogis yang justru menganggap individu lainnya sebagai benda
Perjuangan menuju kebebasan sejati tidak akan terjadi begitu saja, harus direbut dan diperjuangkan. Selain itu, butuh kemurahan hati dan ketulusan untuk meraihnya bukan dengan cara-cara penindasan. (Mohamad Riyandi Badu, Dosen Pendidikan Teknik Mesin Universitas Negeri Gorontalo)