Laulalang salah satu nama desa di kabupaten Toli-Toli. Cukup jauh dari kota Palu, berjarak 442,6 km (13-16 jam perjalanan darat). Desa ini menjadi familiar dirumpun keluarga kami, karena salah satu kemanakan kami kepincut gadis dari desa itu, lalu melamar dan menikahinya kemarin, Sabtu tanggal 25 Juli 2021. Tak berlanjut menceritakan bagaimana kemenakan itu menemukan jodoh di Laulalang. Meski kami tahu, karena teman akrab kemenakan, Syarifa namanya, malam sebelum pernikahan begitu polos menceritakan pertemuan keduannya. Biarlah pertemuan cinta mereka itu menjadi cerita indah untuk mereka kelak berdua. Namun yang menarik ingin saya sampaikan lewat tulisan ini adalah kebaikan dan perilaku bersahaja masyarakat Laulalang, sebagaimana kami lihat dan rasakan.
Tak seperti masyarakat urban pada umumnya yang begitu paranoid akibat covid-19, masyarakat Laulalang tetap beraktivitas seperti biasa, tak ada kegalauan apalagi kepanikan. Tak ada perubahan gaya penyambutan mereka, tetap sumringah, penuh kekeluargaan, suasana kampung begitu terasa. Kami yang justru tahu diri, karena dari kota Palu, daerah dengan tingkat terkonfirmasi covid-19 masih tinggi (zona merah), dan kami secara jujur menyampaikan ada keluarga tak sempat datang karena lagi dirawat dirumah sakit karena terpapar covid-19. Keterusterangan itu tak membuat mereka menghindar, mereka tetap welcome, suasana kekeluargaan dan kesyahduan (meminjam istilah MC malam mapacci di Laulalang, disebut setiap sanak keluarga dipanggil mapacci disebut melakukan sentuhan kesyahduan) tetap mereka pertontonkan, tidak ada keraguan, apalagi nyinyir dengan tamu karena suasana pandemi covid saat ini, seperti pada umumnya masyarakat urban dalam suasana pandemi saat ini bila ada hajatan atau tamu dari luar. Kami bahkan didatangi tokoh-tokoh masyarakatnya cerita seputar covid-19 ini dengan akrap dan begitu cair. Dan mereka juga sangat memahami soal prokes Covid ini, namun tak menyurutkan perilaku humanisnya, menghargai bahkan memuliakan kami sebagai tamu.
Kami memang nginap, dirumah salah satu keluarga calon mempelai perempuan (sekarang sudah menjadi istri kemenakan) yang terbilang sederhana, hanya beralas karpet kami disiapkan, tak ada kasur empuk dan selimut tebal seperti layaknya di penginapan. Namun ke ihklasan dan sikap welcome mereka sudah cukup membuat kami tidur nyenyak. “Sudah saya pesan kepada istri saya, bukan rumah itu yang dilihat orang, tapi kelapangan hati kita menerima tamu” begitu sang suami yang punya rumah menuturkan, dalam diskusi ringan diteras rumah beliau yang belum kelar dibangun, namun membuat kami betah berlama-lama diteras itu, karena view lautnya yang menggoda hanya berjarak beberapa meter saja dari rumahnya. Dan pesan disampaikan sang suami, begitu realitasnya yang dipertontonkan sang istri dan anak-anak mereka dalam melayani kami. Senyum dan tawanya selalu menyeruak setiap kami dilayani, tak ada keluhan, tak ada kesan terpaksa dan atau pencitraan ala kebanyakan politisi kita di rana publik. Kamipun tak segan ikut ambil bagian dalam menyiapkan sarapan dan makan siang maupun malam, dan tempat makan mereka bukan dimeja makan buatan jepara yang elegan itu, kami dilayani makan di tempat kami tidur dihamparan karpet tak beralas baki, namun membuat kami sangat berselerah dan layak ‘tak merasa’ bukan tamu, sungguh suasana kebatinan yang mengugah selera dan bahagia yang tak mungkin terlupakan. Dan suasana keakraban dan kebersahajaan itu berlanjut dalam acara malam mapacci dan nikah esok harinya. Tak ada pagelaran pesta yang mentereng, yang hadir adalah pesta sederhana dengan suguhan menunya juga relatif sederhana, beda jauh dengan menu pesta yang ‘wah’ di hotel berbintang dengan banyak varian menu, namun itu sudah cukup membuat kami merasa ‘wah’ dengan perilaku mereka yang bersahaja dan santun dalam melayani, sehingga kamipun lahap menyantap menu sederhana itu, dalam suasana hati yang merindu. Di balik kesederhanaan pesta ada cinta kasih dan kebaikan yang tumbuh subur. Mereka saling berbagi dan peduli “Disaat susah begini, dimana-mana ada pembatasan, saatnya kita saling membantu, bukan malah mengambil kesempatan, mengambil keuntungan, kita tidak boleh kenyang sendiri tapi bagaimana kita bisa bertahan hidup bersama” kata salah satu tokoh masyarakat yang rajin bertegur sapa dengan kami selama di Laulalang.
Terima kasih ibu bapak, yang sudah mengajarkan kami tentang kearifan hidup, seni menata hidup mencapai kebahagiaan dalam melayani ternyata bukan pada status (gelar, harta atau jabatan) yang sering kami bangga-banggakan itu, namun pada hati yang lapang dan ikhlas, suatu pembelajaran kearifan hidup yang sungguh memanusiakan.(DR.H Kasman Jaya Saad, M.Si, Dosen Universitas Alkhairaat Palu)