PALU – Bambang Sardi, pria asal Wakatobi, Sulawesi Tenggara, yang kini berdomisili di Kota Palu, Sulawesi Tengah berhasil menemukan teknik terbaik mengolah kelapa menjadi Virgin Coconut Oil (VCO) atau minyak kelapa murni. Sosok penemu VCO itu bahkan menargetkan bisa mengembangkan temuannya itu menjadi industri berskala besar di Sulawesi Tengah.
Inovasi Bambang ini bermula ketika ia melihat besarnya potensi kelapa di Sulawesi Tengah khususnya di Kabupaten Parigi Moutong. Pria berusia 37 tahun berlatar belakang pendidikan Chemical Engineering (Teknik Kimia) itu berinisiatif menemukan cara agar bisa mengolah kelapa-kelapa tersebut menjadi produk yang bisa memberikan kontribusi lebih besar bagi masyarakat khususnya di Sulawesi Tengah.
Selama kurun waktu tiga tahun lamanya, tentunya bukanlah hal yang mudah untuk menggapainya. Sepanjng riset dan uji coba yang dilakukannya, ia mengaku kerap kali menjumpai berbagai macam kendala bahkan mengalami kegagalan. “Kendala tentu ada, dan tahapan-tahapan itu tidak gampang dalam proses yang panjang. Gagal tentu sering, pertamanya gagal karena produknya tidak terbentuk, kemudian kondisi produksinya tidak baik, tantangan terpenting adalah berkunjung ke Parigi yang membutuhkan waktu cukup lama dengan kendaraan terbatas,” akunya kepada media ini Sabtu (8/7/2023) siang.
Meskipun berbagai kendala dan tantangan menjadi teman selama proses risetnya, Bambang akhirnya bisa menemukan satu metode terbaik dalam pengolahan produk yang ia cita-citakan itu. “Dari situ kami terus melakukan uji coba, kira-kira mana metode yang terbaik didapatkan, sehingga metode yang terbaik adalah Fermentasi Anaerob,” imbuhnya.
Saat ini, produknya telah tersebar tak hanya skala nasional, bahkan sesekali memenuhi permintaan ekspor ke luar negeri. Untuk pemasaran lokal saja, dengan memberdayakan masyarakat, produksi minyak kelapa murni itu telah mencapai 200 Liter per bulan yang dibandrol dengan harga Rp.35 sampai Rp.50 ribu per 250 ml.
Tak hanya itu, limbah dari pengolahan minyak itu sendiri menghasilkan ‘blondo’ (istilah masyarakat setempat) yang berdasarkan penelitian di laboratorium memiliki sumber protein yang sangat besar. Dengan itu, ia pun berinisiatif kembali membuatnya menjadi satu olahan biskuit yang bisa membantu menangani kasus stunting. “Saya juga kerjasama dengan Rumah Sehat Baznas (Rs. Baznas, Siniu, Parigi Moutong, red) kita coba selama tiga bulan treatment kepada enam puluh anak-anak bayi stunting itu cukup berhasil, dan mampu menurunkan 90 persen,” jelasnya.
Meski dengan perjuangan yang dikatakan tak mudah itu, Bambang bukan termasuk orang yang pelit ilmu. Teknik yang ia dapatkan justru ia salurkan melalui pelatihan-pelatihan kepada masyarakat dibawah binaannya. “Saat ini produk kami sepanjang Parigi, Kota Raya, menuju daerah Siniu Salanga, Ampibabo, sudah masyarakat jalankan sebagai satu sumber penghasilan,” terangnya.
Dengan bakat yang ia miliki, pada tahun 2017 lalu, Bambang berhasil menorehkan nama menjadi pemenang dalam program SATU Indonesia Award asal Sulteng. Ia pun berharap, dapat lahir kembali regenerasi sepertinya khususnya dari Sulawesi Tengah. “Saya berharap tidak cukup saya, tapi bisa memberikan virus-virus kebaikan kepada anak-anak muda,” harapnya.
Saat ini Bambang telah mengembangkan usahanya itu sebanyak 6 (enam) komunitas yang tersebar di Kabupaten Sigi, Donggala, Parigi dan Kota Palu. “Puncak dari target kita adalah ini bisa dikembangkan jadi industri besar di Sulawesi Tengah,” pungkasnya.(SCW)